PEDAHULUAN
Tidak diingkari
perbuatan yang yang diperselisihkan hukum haramnya, dan sesungguhnya yang telah
diingkari ialah suatu yang sudah disepakati hukum haramnya. Pernyataan ini
merupakan suatu kaidah dalam kaidah-kaidah fiqh yang ke 35.
Kaidah ini
memiliki nilai yang sangat penting karena berhubungan dengan repotasi para
mujtahid, saat terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam diantara mereka.
Padahal perbedaan adalah hal yang wajar dalam kancah dunia keilmuan, khususnya
dalam ilmu fiqih. Disini kita tidak boleh meberikan penilaian subjektif atas
pendapat mereka, dengan menilai pendapat salah seorang mujtahid lebih utama,
karena kebetulan sesuai dengan kebetulan, pemikiran, keinginan, atau
kepentingan kita. Inilah pesan subtansial kaidah ini. Dan selanjuddnya akan di
perjelaskan dalam makalah kami dalam kaidah yang ke 35 :
1. لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفِ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ
الْمُجْتَمَعٍ عَلَيْهِ
“Hal-hal yang
diperselisihkan tidak dapat diingkari, yang wajib diingkari adalah hal-hal yang
sudah disepakati”.
2.
KAIDAH KE 35
3. لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفِ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ
الْمُجْتَمَعٍ عَلَيْهِ
“Hal-hal yang
diperselisihkan tidak dapat diingkari, yang wajib diingkari adalah hal-hal yang
sudah disepakati”.
Ketidakbolehan mengingkari hal-hal yang masih dipertentangkan atau Mukhtalaf
fih, karena pada dasarnya pendapat ulama yang berpendapat tentang keharaman
sesuatu tidaklah lebih utama dibanding ulama yang berpendapat halal.
Sebagaimana halnya pendapat al-syafi’i yang menyatakan keharaman arak yang
terbuat dari bahan selain anggur, tak seperti pendapatnya Hanifah yang
menghalalkannya.
Ketentuan ini berlaku karena pada dasarnya pengingkaran yang wajib dilakukan
hanya dapat dibenarkan pada hal-hal yang telah disepakati keharamannya diantara
para ulama. Seperti halnya meminum khomr (arak yang terbuat dari perasan
anggur), sodomi, berbuat zina dan perbuatan lainnya yang disepakati oleh para
ulama.
Secara umum, hal-hal yang mewajibkannya seseorang mengingkari yang
mukhtalaf fih ada tiga hal, yakni:
1.
Lemahnya dalil yang dijadikan pijakan hukum sebuah pendapat. Maksud dari
lemah disini adalah ketika pendapat seorang imam menurut mayoritas ulama sangat
jauh dari kebenaran. Hingga apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara
dengan menggunakan hukum dari pendapat ulama yang lemah pengambilan dalilnya,
maka putusan hakim itu bisa dibatalkan. Seperti halnya ketika orang yang
menerima gadai berhubungan badan dengan budak wanita yang digadaikan. Jika
dalam dalam hubungan badan ini tidak ada faktor syubhat, maka pelaku harus
didera.
2.
Dalam pengadilan, yang dijadikan sandaran adalah pendapat yang dijadikan
pedoman seorang hakim, bukan pendapat pelaku. Jika dalam uraian sebelumnya
disebutkan bahwa tentang halal atau tidaknyasuatu perbuatan berdasarkan apa
yang diyakini pelaku, namun dalam masalah peradilan adalah sebaliknya, yang
dijadikan pedoman adalah apa yang di anut oleh hakim. Dengan demikian, jika ada
seorang seorang penganut hanafi meminum khomr yang terbuat dari perasan kurma
yang meyakini kehalalannya, dihadapka pada hakim yang bermadzhab syafi’i yang
meyakini keharamannya, maka ia tadi tetap dapat dijatuhi hukuman[1][1].
3.
Jika perkara yang diingkari berhubungan dengan hak seorang suami atas
istrinya. Seperti halnya seorang suami yang bermazhab syafi’i dimana mazhab ini
mengharamkan meminum khomr yang terbuat dari perasan anggur dan sang istri
bermazhab hanafi yang menghalalkannya, maka sang suami boleh melarang sang
istri meminum khomr tersebut. Ini dikarenakan sang suami mempunyai hak untuk
sang istrinya.
Ingkar yang dilakukan tidak mendatangkan fitnah atau madlarat. Apabila
diyakini atau praduga yang kuat bahwa pengingkaran yang dilakukan akan mencegah
timbulnya fitnah, maka hukumnya mengingkari tidak wajib juag tidak sunah,
bahkan bisa berubah menjadi haram. Tindakan yang patut dilakukan hanyalahtidak
mendatangi tempat yang didalamnya terdapat kemungkaran. Ia wajib berada dirumah
dan dilarang keluar kecuali karena ada kebutuhan mendesak.
Kemudian tak wajib baginya untuk berpidah tempat kecuali jika ia tetap
bertahan maka akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, dan begitu juga
sebaliknya. Jika tindakan pengingkaran sudah berstatus tidak wajib, sementara
ia tidak khawatir akan timbulnya fitnah atau bahaya, maka disunahkan untuk
melakukan pengingkaran sebagai syiar islam.
Oleh karena itu, kaidah ini sangatlah penting karena berhuhubungan
dengan reputasi para mujtahid saat terjadi perbedaan yang serius diantara
mereka.[2][2]
PENUTUP
Ada bebrapa keadaan dimana kaidah ini tidak di berlakukan
yaitu apabila salah satu pendapat yang berbed itu sangat jauh pengambilannya
seperti masalah perbuatan persetubuhan maka dia tetap mendapatkan had. Kalau
masalalahnya sudah dibawa kehakim dan hakim telah menghukumi menurut
keyakinananya dan sesuai dengan haknya. Kalau orang yang menegingkari memeng
mempunyai hak seperti pada kasus suami terhadap istri.