Isnin, 4 Mac 2013

Hal-hal yang diperselisihkan tidak dapat diingkari, yang wajib diingkari adalah hal-hal yang sudah disepakati


PEDAHULUAN
Tidak diingkari perbuatan yang yang diperselisihkan hukum haramnya, dan sesungguhnya yang telah diingkari ialah suatu yang sudah disepakati hukum haramnya. Pernyataan ini merupakan suatu kaidah dalam kaidah-kaidah fiqh yang ke 35.
Kaidah ini memiliki nilai yang sangat penting karena berhubungan dengan repotasi para mujtahid, saat terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam diantara mereka. Padahal perbedaan adalah hal yang wajar dalam kancah dunia keilmuan, khususnya dalam ilmu fiqih. Disini kita tidak boleh meberikan penilaian subjektif atas pendapat mereka, dengan menilai pendapat salah seorang mujtahid lebih utama, karena kebetulan sesuai dengan kebetulan, pemikiran, keinginan, atau kepentingan kita. Inilah pesan subtansial kaidah ini. Dan selanjuddnya akan di perjelaskan dalam makalah kami dalam kaidah yang ke 35 :
1.      لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفِ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْتَمَعٍ عَلَيْهِ
“Hal-hal yang diperselisihkan tidak dapat diingkari, yang wajib diingkari adalah hal-hal yang sudah disepakati”.


2.       
KAIDAH KE 35
3.      لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفِ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْتَمَعٍ عَلَيْهِ
“Hal-hal yang diperselisihkan tidak dapat diingkari, yang wajib diingkari adalah hal-hal yang sudah disepakati”.
Ketidakbolehan mengingkari hal-hal yang masih dipertentangkan atau Mukhtalaf fih, karena pada dasarnya pendapat ulama yang berpendapat tentang keharaman sesuatu tidaklah lebih utama dibanding ulama yang berpendapat halal. Sebagaimana halnya pendapat al-syafi’i yang menyatakan keharaman arak yang terbuat dari bahan selain anggur, tak seperti pendapatnya Hanifah yang menghalalkannya.
Ketentuan ini berlaku karena pada dasarnya pengingkaran yang wajib dilakukan hanya dapat dibenarkan pada hal-hal yang telah disepakati keharamannya diantara para ulama. Seperti halnya meminum khomr (arak yang terbuat dari perasan anggur), sodomi, berbuat zina dan perbuatan lainnya yang disepakati oleh para ulama.
Secara umum, hal-hal yang mewajibkannya seseorang mengingkari yang mukhtalaf fih ada tiga hal, yakni:
1.             Lemahnya dalil yang dijadikan pijakan hukum sebuah pendapat. Maksud dari lemah disini adalah ketika pendapat seorang imam menurut mayoritas ulama sangat jauh dari kebenaran. Hingga apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan menggunakan hukum dari pendapat ulama yang lemah pengambilan dalilnya, maka putusan hakim itu bisa dibatalkan. Seperti halnya ketika orang yang menerima gadai berhubungan badan dengan budak wanita yang digadaikan. Jika dalam dalam hubungan badan ini tidak ada faktor syubhat, maka pelaku harus didera.
2.             Dalam pengadilan, yang dijadikan sandaran adalah pendapat yang dijadikan pedoman seorang hakim, bukan pendapat pelaku. Jika dalam uraian sebelumnya disebutkan bahwa tentang halal atau tidaknyasuatu perbuatan berdasarkan apa yang diyakini pelaku, namun dalam masalah peradilan adalah sebaliknya, yang dijadikan pedoman adalah apa yang di anut oleh hakim. Dengan demikian, jika ada seorang seorang penganut hanafi meminum khomr yang terbuat dari perasan kurma yang meyakini kehalalannya, dihadapka pada hakim yang bermadzhab syafi’i yang meyakini keharamannya, maka ia tadi tetap dapat dijatuhi hukuman[1][1].
3.             Jika perkara yang diingkari berhubungan dengan hak seorang suami atas istrinya. Seperti halnya seorang suami yang bermazhab syafi’i dimana mazhab ini mengharamkan meminum khomr yang terbuat dari perasan anggur dan sang istri bermazhab hanafi yang menghalalkannya, maka sang suami boleh melarang sang istri meminum khomr tersebut. Ini dikarenakan sang suami mempunyai hak untuk sang istrinya.
Ingkar yang dilakukan tidak mendatangkan fitnah atau madlarat. Apabila diyakini atau praduga yang kuat bahwa pengingkaran yang dilakukan akan mencegah timbulnya fitnah, maka hukumnya mengingkari tidak wajib juag tidak sunah, bahkan bisa berubah menjadi haram. Tindakan yang patut dilakukan hanyalahtidak mendatangi tempat yang didalamnya terdapat kemungkaran. Ia wajib berada dirumah dan dilarang keluar kecuali karena ada kebutuhan mendesak.
Kemudian tak wajib baginya untuk berpidah tempat kecuali jika ia tetap bertahan maka akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, dan begitu juga sebaliknya. Jika tindakan pengingkaran sudah berstatus tidak wajib, sementara ia tidak khawatir akan timbulnya fitnah atau bahaya, maka disunahkan untuk melakukan pengingkaran sebagai syiar islam.
Oleh karena itu, kaidah ini sangatlah penting karena berhuhubungan dengan reputasi para mujtahid saat terjadi perbedaan yang serius diantara mereka.[2][2]

PENUTUP
Ada bebrapa  keadaan dimana kaidah ini tidak di berlakukan yaitu apabila salah satu pendapat yang berbed itu sangat jauh pengambilannya seperti masalah perbuatan persetubuhan maka dia tetap mendapatkan had. Kalau masalalahnya sudah dibawa kehakim dan hakim telah menghukumi menurut keyakinananya dan sesuai dengan haknya. Kalau orang yang menegingkari memeng mempunyai hak seperti pada kasus suami terhadap istri.


[1][1] Drs. H. Abdul Mudjib, Kaedak-kaidah Ilmu Fiqih (Al-Qow’IDUL fIqhiyyah).  Jakarta : kalam Mulia, 2008. Hal 95-96.
[2][2] KH. Maimoen Subair. Formulasi Nalar Fiqh, Telaah kaidah Fiqh konseptual. Surabaya : Khalista, 2009. Hal. 318-323.