BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Pemikliran ekonomi islam telah ada sejak 1300 tahun yang
lalu, yaitu sejak nabi Muhammad SAW. Perjalanan sejarah mengarahkan kepada kita
untuk mengetahui bahwa ekonomi Islam telah mengalami kehilangan pengakuan
selama masa kemunduran hingga masa modernis. Hingga tiba saatnya terjadi upaya
pengakuan kembali, setelah adanya pernyataan para kaum cendekiawan bahwa konsep
rumusan ekonomi Islam yang telah digagas para ulama’ masa keemasan ketika Islam
mengalami zaman kemunduran telah dilakukan tindak plagiatisme terhadap banyak
segi keilmuannya. Menurut Chapra , meskipun sebagian kesalahan terletak di
tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum
muslimin, namun Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan
penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan
manusia.
Kontribusi kaum muslimin yang sangat besar terhadap
kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban
dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Buku-buku teks
ekonomi Barat hampir tidak pernah menyebutkan peranan kaum muslimin ini.
Menurut Chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat Islam
karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum muslimin, namun
Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargaan yang
layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia.[1]
Para sejarahwan Barat telah menulis sejarah ekonomi
dengan sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril
dan tidak produktif. Sebagai contoh, sejarahwan sekaligus ekonom terkemuka,
Joseph Schumpeter, sama sekali mengabaikan peranan kaum muslimin. Ia memulai
penulisan sejarah ekonominya dari para filosof Yunani dan langsung melakukan
loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman
St.Thomas Aquinas (1225-1274 M).
2.
Rumusan Masalah
1)
Bagaimana Riwayat Hidup Ibn Hazm ?
2)
Bagaimana karir, kondisi politik-sosial dan kecenderungan mazhabnya
?
3)
Apa saja hasil pemikiran ekonomi Ibn hazm ?
3.
Tujuan Masalah
1)
Mengetahui Riwayat Hidup Ibn Hazm
2)
Mengetahui karir, kondisi politik-sosial dan kecenderungan
mazhabnya
3)
Mengetahui pemikiran ekonomi Ibn hazm
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Riwayat Hidup
Ibnu
Hazm, bernama lengkap Abu Muhammad Ali Ibn Abu Umar Ahmad Ibn Said Ibn hazm
al-Qurthubi al Andalusi, lahir pada akhir bulan Ramadhan 184 H (994 M). Ia
berasal dari sebuah keluarga bangsawan dan kaya. Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad,
seorang keturunan Persia dan wazir administrasi pada masa pemerintahan Hajib
al-Mansur Abu Amir Muhammad bin AbuAmir al-Qanthani (w. 192 H) dan Hajib Abdul
Malik al-Mudzaffar (w. 399 H/1009 M).[2]
Sejak ibunya wafat , Ibnu Hazm kecil tinggal di istana dengan para pengasuh
yang terdiri dari para wanita terpelajar. Mereka mengajarkan baca tulis,
membaca dan memahami maksud al-Qur’an serta berbagai syair Arab. Ia nyaris
terisolasi dalam istana dan tidak begitu mengenal dunia luar serta lingkungan
masyarakat Kordova yang padda saat itu merupakan kota metropolis.[3]
Setelah
itu, Ibnu Hazm diserahkan kepada Abu Ali al-Husein bin Ali al-Fasi, seorang
ulama yang mengesankan hatinya, baik dari segi ilmu, amaliah, maupun kewara’-annya.
Ia belajar hadis untuk pertama kalinya kepada Amir al-Jasur ketika berusia 16
tahun[4].
Pada saat itu, hadis dan fiqh merupakan dua bidang ilmu yang berkaitan,
sehingga dapa dikatakan bahwa Ibn Hazm juga mempelajari fqh disaat yang sama.
Ibnu
Hazm mempelajari ilmu dari ulama lainnya, baik selama ia menetap di Kordova
maupun selama pengembaraannya diberbagai kota hingga Maroko. Ia menyerap
berbagai ilmu agama dan umum, seperti tafsir dan hadis, fiqih, ushul fiqh,
teologi,perbandingan agama, bahasa, sastra, sejarah, dan filsafat. Hal ini
terganbar dari sekian banyak karyanya yang meliputi berbagai bidang tersebut,
sehingga dikenal sebagai ilmuan yang generalis dan produktif.[5]
Keberhasilan Ibnu Hazm tidak terlepas dari arahan orang tuanya yang menyukai
ilmu pengetahuan, disamping ketekunan dan kesungguhan diri serta kecerdasan
yang luar biasa.
2.
Karir, Kondisi Sosial-Politik dan Kecenderungan Mahdzabnya
Dalam ketidakpastian politik, Ibnu
Hazm mengikuti jejak ayahnya
sebagai wazir selama tiga periode, yakni
masa Khalifah Abdurrahman IV al-Murtadha yang menjadi pembantu umayyah, pda
masa Abdurrahman V al-Musthansir, dan pada masa Hisyam al-Mu’tad. Beliau terlibat
secara langsung dalam situasi polittik praktis untuk menghadapi serangan Bani
Hammud (cenderung kepada mazhab Syi’ah) dari maghribi yang menggulingkan bani
Umayyah di Andalusia, selama dua decade menjelang keruntuhannya pada tahun
422M.
Sepanjang
hayatnya, Ibnu Hazm tidak hanya terlibat dalam pekerjaan administrasi Negara.
Setelah situasi cukup aman, ia mulai mengembangkan karirnya sebagai pengajar
dan penulis hingga akhir hidupnya. Ibnu Hazm wafat didesa Manta Lisham, dekat
Sevilla. Tumbangnya Dinasti Ummayyah dan kegagalan dibidang politik tersebut
menyadarkannya untuk kemabali menekuni dunia keilmuan secara lebih serius dan
intensif hingga membawanya kepuncak keiluan dan mengukirkan diri dalam ejarah
perkembangan intelektual islam.
Pada awalnya, Ibnu Hazm menganut
Mazhab Maliki yang ketika itu merupakan Mazhab mayoritas di kawasan Andalusia
dan Maghribi pada umumnya. Mazhab ini bukan saja menjadi anutan masyarakat dan
ulama setempat, akan tetapi juga menjadi mazhab resmi Negara. Hal ini tergambar
dalam para pemegang jabatan qadi dan keputusan yang harus berlandaskan mazhab
tersebut. Disamping itu ia menerima pelajaran awalnya dari ulama Maliki,
seperti Abdullah bin Dahundan Ahmad bin Jasur, dengan mempelajari kitab
karangan Imam Malik, al-Muwaththa. Dengan mempelajari kitab tersebut Ibnu Hazm sekaligus mempelajari
hadist dan fiqih mazhab ini.
Dalam
perkembangan , Ibnu Hazm beralih ke mazhab Syafi’I. perpindahan ini agaknya
merupakan bagian dari proses pembentukan dan masa transisi kea rah pencarian,
pematangan diri dan kemandirian pemikirannya. Perpindahan tersebut
memperlihatkan ketidakpuasannya terhdap mazhab Maliki, sikap ulama dan
masyarakat dalam bertaklid kepada mazhab ini secara fanatic. Hal ini terlihat
dalam reaksi mereka ketika berdiskusi dan berbeda pendapat dengan Ibnu Hazm di
Valencia. Mereka bereaksi keras dengan menyatakan: “ini bukanlah mazhabmu”.
Kecenderungan
Ibnu Hazm kepada mazhab Zhahiri nampaknya terkait erat denganfenomena social
politik dan keagamaan di Andalusia pada masa hidupnya. Krisis politik yang
berkepanjangan mengakibatkan runtuhnya kekhalifahan, penyelewengan dan
kedhzaliman al-muluk althawaif berakar pada ketidak tegasan pelaksanaan syariat islam, bahkan cenderung
meninggalkannya. Sebagian fuqaha mazhab maliki di Andalusia yang memegang
jabatan qadi menjadi kurang responsive, oppurtunistik, tunduk pada kemauan
politik, dan kebijakan hokum penguasa, meskipun sudah jelas – jelas menyimpang
syariat. Mereka tidak lagi menjalankan tugas amar ma’ruf nahi mungkar dalam rangka
mengontrol penguasa dan berbagai kekuatan social yang bersaing tidak sehat.
Merekatampil dalma posisi yang lemah dan defensive dalam menghadapi kebijakan
pemerintah dan kekuatan yang lebih dominan yang etrkait dengan syariat serta
berlindung dibalik penggunaan ra’yidalam rangka mengamankan diri dari tekanan
kedzaliman penguasa yang menyeleweng itu.
Situasi
andalusia yang dipegang oleh para
penguasa yang tidak cakap dan lemah mengundang kehadiran berbagai pihak lain
yang bersaing dalam menanamkan pengaruh untuk memperoleh legitimasi dalam
memegang tampuk kekuasaan politik yang sebenarnya. Akibatnya, khalifah hanya
menjadi symbol yang tidak berperan secara signifikan.[6]
Disamping
itu, muncul interfensi kekuatan nonmuslim yang mengulurkan bantuan kepada pihak
yang dianggap mengingikan bantuan tersebut. Bantuan tersebut sudah tentu
disertai persyaratan dan konsesi tertentu yang merugikan kaum muslimin.
Kerjasama ini menilai Ibnu Hazm bertentangan dengan syariat islam karena secara
politis member peluang kepada musuh untuk meruntuhkan islam. Dalam skala makro,
umat islam yang dalam posisi lemah bisa jadi akan lebih mudah tunduk pada
kemauan politik mereka, sebagai imbalannya. Umat islampun harus membayar mahal
dengan jatuhnya kekhalifahan Bani Ummyyah di Andalusia.
Selanjutnya,
muncul Al-Muluk al-thawaih yang mempergunakan amirul mu’minin dan gelar lainnya
yang hanya layak bagi khalifah.[7]
Fukaha Maliki tersebut cenderung bersikap toleran penyimpanhan mereka, bahkan
bersikap diam ketika salah seorang dari mereka mengklaim dirinya sebagai
khalifah keturunan Bani Ummayyah yang sebenarnya hanya seorang berkulit hitam
yang berasal dari Afrika. Ia yang mengaku dirinya sebagai khalifah al-Muayyd
Hisyam bin al-Hakam yang sebenarnya telah wafat 22 tahu sebelumnya. Yang lebih
mengherankan lagi adalah fatwa Fukaha Maliki yang bersedia memabaiatnya. Mereka
juga bersikap diam saja terhadap kedzaliman para penguasa yang menetapkan
pungutan yang berlebih-lebihan terhadap masyarakat.
Kondisi
social dan politik yang sedemikian parah telah menempatkan qiyas dan istihsan
sebagai alat bagi timbulnya kolusi antara sebagian Fukaha dengan penguasa dalam
memberikan berbagai fatwa hukum yang berkaitan dengan realitas kehidupan yang
rusak. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, Ibnu Hazm emilih jalur untuk
mengkaji hukum islam mulai dari awal dengan kebebasan berijtihad dan menolak
taklib. Menurutnya, ijtihad adalah kembali kepada Al-Quran dan Hadist. Dengan
demikian, dapat disimpulakan bahwa kezahiran Ibnu Hazm merupakan reaksinya
terhadap fenomena social politik yang secara mendasar membutuhkan perbaikan
dari sisi landasannya, yaitu pengetatan pemahaman dan penerapan nash syariat.
Oleh karena itu, aktifitas intelektualnya, terutama dalam bidang fiqih
merupakan upaya untuk mengubah aspek pemikiran yang menjadi dasar berbagai
penyelewengan hukum yang terjadi itu, mengembalikan fqkaha kepada sumbernya, Al-Quran dan hadist, bukan saja
furu’-nya.
Akibat
sikapnya yang melawan arus itu banyak diantara para fuqaha maliki yang membenci
dan memusuhi Ibnu Hazm. Mereka tidak segan – segan menggunakan berbagai cara
untuk meredam aktifitas Ibnu Hazm dalam menyebarkan pemikirannya. Mereka
menghasut penguasa untuk memikirkannya dari wilayah kekuasaan mereka. Ibnu Hazm
dipandand sebagai tokoh oposan yang dapat mengancam posisi mereka. Mereka
berdalaih bahwa Ibnu Hazm adalah seorang tokoh fanatic dalam doktrin Imamah dan
mempunyai loyalitas tinggi kepada Bani Ummayyah sebagai orang yang layak
menduduki jabatan khalifah, apalgai ia berasal dari suku Quraisyi. Disamping
itu, kitab – kitab Ibnu Hazm dibakar oleh al-Mu’tadid, penguasa sevilla,
sebelum ia terusir dari wilayahnya seperti tercermin dalam syairnya yang
dikutip diatas. Hal in, disebabkan adanya pengaduan dari fukaha maliki yang
mengatakan bahwa Ibnu Hazm menghujat Imam Malik dan tiga mazhab Suni lainnya,
serta mengeluarkan fatwa yang tidak sesuai dengan keempat mazhab tersebut.
Sosok
Ibnu Hazm saat itu adalah seorang pemikir besar yang berasal dari suku Arab
muslim. Ia telah membuktikan dirinya sebagai sumber literatur, sejarahwan,
filolog, retorik, qadi, filosof, dan teolog. Pendidikan yang tinggi dan
lingkuang keluarga yang kondusif sangat mempengaruhi karirnya. Ia mampu
menangkap dengan cepat seluruh informasi mutakhir yang membuatnya produktif, meluaskan
pengajaran, menyebarkan bahasa arab dan menyiapkan perangkat yang mendasari
ilmu pengetahuan.
Beberapa faktor yang menyebabkan
Ibnu Hazm berpengatahuan dan memiliki kepemimpinan hingga menempatkannya pada
posisiyang tinggi adalah:
1. Berkepribadian baik. Hal ini sangat
penting dalam membentuknya sebagai seorang pemikir besar, kuat daya ingatnya,
tajam dalam pemikiran dan bicaranya, kuat pengamatannya, dan daya analisisnya
yang patut dihargai.
2. Keunggulan yang diperolehnya melalui
pendidikan menyatu dengan semangatnya dalam belajar dan merespon hal-hal yang
actual membentuk luas dan dalam pengetahuannya. Di antara gurunya adalah Abdul
Qaim Rahman ibn Abi Yazid al-Azdi al-Asri (dalam bidang budaya, tata bahasa,
leksikografi, retorika, dialektika, dan teologi), Abu Khiyar al-Lughawi (dalam
bidang fikih), Ahmad ibn Muhammad ibn Jasur (dalam bidang hadis), Abu Abdullah
al-Mahdiji (dalam bidang filsafat), dan Abu Said al-Fata’a ja’far (dalam bidang
puisi).
3. Penguasaannya terhadap beberapa bahasa
asing.
4. Lingkungan keluarga yang kondusif
mempengaruhi perkembangan karirnya.
5. Aktif sebagai Wazir dalam urusan
public dan administrasi, karir dalam bidang politik dan militer ini membuatnya
sangat tegas dan jelas dalam pemikirannya.
6. Jabatan yang dipegang memberikan pengaruh
positif dalam pengembangan karirnya.
3.
Pemikiran Ekonomi
Menurut
anaknya, abu rafi’, ibnu Hazm memiliki 400 karya yang terdiri dari 80.000
lembar.karya meliputi bidang hukum,logika, sejarah,etika ,perbaandingan
agama,dan teologi. Beberapa pemikirannya yang terkenal dalam bidang ekonomi
antara lain:
1)
Masalah Sewa Tanah dan Kaitannya
Dengan Pemerataan Kesempatan
Sejalan dengan pendekatan zahirinya,
ibnu Hazm mengemukakan konsep pemerataan
kesempatan berusaha dalam istinbat
hukumnya dibidang ekonomi,sehingga cenderung pada prinsip-prinsip ekonomi
sosial islami yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat banyak dan
berlandasakan keadilan sosial dan keseimbangan sesuai dengan petunjuk Al-quran
dan hadist.oleh karena itu sebagian penulis kontemporer menyatakannya sebagai
perintis ekonomi sosialis yang islami. Namun demikian,penilaian tersebut
terlalu berlebihan dan cenderung
menarik-nari syariat islam kepada suatu sistem ekonomi kontemporer
produk pemikiran barat. Syariat islam bukan merupakan sistem sosialis yang
menekankan kepemilikan kolektif sebagaimana pula bukan pemikiran kaum
kapitalis yang menekankan kepada
pemilikan individual. Diantara pernyataan ibnu Hazm berkenan dengan sewa tanah
adalah :
“Menyewakan tanah sama sekali
tidak di perbolehkan, baik untuk bercocok tanam,perkebunan,mendirikan bangunan,
ataupun segala sesuatu, baik untuk jangka pendek,jangka panjang,maupun tanpa
batas waktu tertentu,baik dengan imbalan dinar maupun dirham.bila hal ini
terjaddi, hukum sewa-menyewanya batal selamanya.”
Selanjutnya
,ibnu Hazm menyatakan:
“Dalam persoalan tanah,tidak
boleh dilakukan kecuali muzara’ah(penggarapan tanah) dengan sistem bagi hasil
produksinya atau mugharasah (kerjasama penanaman). jika terdapat bangunan pada
tanah itubanyak atau sedikit,bangunan itu boleh disewakan dan tanah itu ikut pada bangunan tetapi tidak
masuk dalam penyewaan sama sekali”.
Dengan pernyataan tersebut,ibnu
Hazm memberikan tiga alternatif penggunaan tanah,yaitu pertama, tanah tersebut dikerjakan atau di garap
oleh pemiliknya sendiri, kedua, si
pemilik mengizinkan orang lain menggarap tanah tanpa meminta sewa. Ketiga, sipemilik memberikan kesempatan orang lain
untuk menggarabnya dengan bibit, alat, atau tenaga kerja yang berasal dari
dirinya, kemudian si pemilik memperoleh bagian dari hasilnya dengan persentasi
tertentu sesuai kesepakatan. Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh
rasulullah Saw dengan kaum yahudi terhadap tanah khaibar. Dalam sistem ini,
jika tanaman itu gagal, si penngarap tidak dibebani tanggung jawab tertentu.
Pandangan
tersebut didasari pemahaman zahiriyahnya sebagai berikut:
Dari Rafi’ bin
Khudaij r.a.,ia berkata:
“Rasulullah saw
melarang penyewaan tanah” (Riwayat Bukhari)
Dari jabir bin
Abdillah r.a., ia berkata:
“Rasulullah saw
melarang pengambilan upah atau bagian
tertentu dari tanah”. (Riwayat Muslim)
Dari Abu Hurairah r.a.,ia berkata:
Rasullah saw
bersabda: “ Barang siapa memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau
memberikannya kepada saudaranya. Jika ia menolak, tahanlah tanah
tersebut”.(Riwayat Muslim)
Selanjutnya, berkenaan dengan muamalah Rasulullah saw dengan
penduduk yahudi khaibar untuk mengerjakan dan menanami tanah khaibar
dengan biaya dari mereka dan Rasul memperoleh bagi hasil,hal tersebut atas
permintaan mereka sendiri.menurut Ibnu hazm, hal ini merupakan pengecualian
dari seluruh larangan penyewaan tanah.”
Agaknya,pandangan Ibnu Hazm tersebut
bertitik tolak dari status tanah sebagai barang yang tidak hancur (sil’ah ghair
istikhlakiyyat) yang pada umumnya peran hasil kerja dan kreasi manusia tidak
menonjol.yang tampak ialah bahwa tanah itu merupakan ciptaan Allah Swt dimana manusia tinggal
memanfaatkannya dan mengklaim dan pengusaannya.dengan demikian,kepemilikan
tersebut tidak mutlak, tetapi justru relatif selama ia memanfaatkannya.
Jika tidak memanfaatkannya,ia harus
memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkannya sesuai dengan asas kepemilikan umum tanah
sebagai ciptaan Allah Swt. Oleh karena itu,menurut Ibnu Hazm, tanah tidak bisa
disamakan dengan rumah atau peralatan yang secara nyata merupakan hasil kerja
dan jerih payah manusia untuk membuatnya sehingga dapat disewakan.
Disamping itu,larangan penyewaan
tanah dan alternatif bagi hasil,menciptakan iklim bekerja dan berusaha yang
lebih baik bagi orang-orang yang tidak mampu dengan risiko kecil dalam menangggung
kerugian akibat bencana alam atau penyakit,sehingga gagal panen. Dengan seperti
ini,keuntungan akan dinikmati bersama, dan begitu pula sebaliknya,risiko
kerugian dan kegagalan panen dipikul bersama.
Hal ini, jauh berbeda dengan sistem
penyewaan tanah.kerugian dalam panen sama sekali tidak menyertakan pemilik
tanah menanggun kerugian yang diakibatnya karena ia menerima sewa secara
utuh.konsekuensinya,kerugian yang ditanggung oleh penyewa semakin besar yaitu
sewa tanah dan biaya pengolahan,penanaman dan perawatan serta tenaga dan waktu
yang tercurah untuknya. Ini jelas tidak adil dan menempatkan orang lemah dalam
posisi lemah terus-menerus.
Pandangan Ibnu Hazm tersebut berbeda
dengan jumhur fuqaha yang secara umum
memperbolehkan penyewaan tanah,sebagaimana bolehnya melakukan muzara’ah dan mugharasah.termasuk di antara mereka adalah Abu Hanifah,Malik,Abu
yusuf ,Zufar, Muhammad binal-Hasan al-Syaibani,al-Syafi’i,dan Abu
Sulaiman.Agaknyapendapat ini bertitik tolak dari kepemilikan tanah secara
mutlak.si pemilik berhak sepenuhnya atas tanah tersebut,apakah ia memanfaatkannya
untuk jangka waktu tertentu ia alihkan kepada orang lain dengan ganti rugi
berupa sewa yang dibayarkan kepada pemilik tanah itu sesuai dengan kesepakatan.
2)
jaminan sosial bagi orang tak mampu
a)
Pemenuhan Kebutuhan Pokok (Basic
Needs) dan Pengentasan Kemiskinan
Ibnu Hazm menyebutkan empat
kebutuhan pokok yang memenuhi standar kehidupan manusia,yaitu
makanan,minuman,pakaian,dan perlindungan(rumah). Makanan dan minuman harus
dapat memenuhi kesehatan dan energi. Pakian harus dapat menutupi aurat dan
melindungi seseorangdari berbagai dari udara panas dandingin serta hujan.Rumah
harus dapat melindungi seseorang dari berbagai cuaca dan juga memberikan
tingkat kehidupan pribadi yang layak.
Dalam konteks ini,Ibnu Hazm
mengingatkan bahwa kemiskinan selalu tumbuh dalam situasi tingkat komsumsi atau
kebutuhan lebih tinggi dari pada pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan.Hal
ini,terjadi akibat laju populasi yang meningkat cepat akibat kelahiran dan
migrasi). Kesenjangan yang lebar antara si kaya dengan si miskin dapat menambah
kesulitan saat keadaan orang kaya
mempengaruhi struktur adminitrasi,cita rasa dan berbagai pengruh lain, seperti
kenaikan tingkat harga dalam aktivitas ekonomi.
Berkenaan dengan harta wajib di
keluarkan zakatnya, Ibnu Hazm memperluas jangkuan dan ruang lingkup kewajiban
sosial lain diluar zakat,yang wajib dipenuhi oleh orang kaya sebagai bentuk
kepedulian tanggung jawab sosial mereka terhadap orang miskin,anak
yatim,danorang yang tidak mampu atau
yang lemah secara ekonomi. Salah satu pandangan Ibnu Hazm yang menarik dalam
masalah ini adalah sebagai berikut:
“ orang-orang kaya dari penduduk setiap negari wajib menanggung kehidupan
orang-orang fakir miskin diantara mereka.Pemerintah harus memaksakan hal ini
terhadap mereka jika zakat dan harta kaum muslimin (bait al-mal) tidak cukup
untuk mengatasinya,orang kafir miskin itu harus diberi makanan dari bahan
makanan semestinya,pakian untuk musim dingin dan musim panas yang layak, dan
tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan,panas matahari, dan
pandangan orang-orang yang lalu lalang”.
Ibnu Hazm
mendasarkan pandangannya tersebut pada firman Allah Swt:
“ Dan berikanlah kepada keluarga – keluarga
yang terdekat akan haknya,kepada orang-orang miskin, dan orang dalam
perjalanan....”.[8]
Hak- hak yang diperintahkan Allah
Swt untuk dipenuhi dipahami ibnu hazm sebagai suatu kewajiban. Hak-hak yang
mesti dipenuhi tersebut tidak lain merupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia
yang meliputi sandang, pangan, dan papan yang layak dan sesuai dengan harkat kemanusiaan. Hak tersebut merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab sosial secara
bersama-sama dalam mewujudkannya, demi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh
umat manusia. Bagaimanapun juga, kemiskinan tidak pernah dikehendaki oleh
siapapun. Orang miskin harus dibantu untuk bisa terbebas dari kemiskinan yang
membelenggu.
b)
Kewajiban Mengeluarkan Harta Selain Zakat
persoalan mengenai adanya kewajiban
harta selain zakat merupakan persoalan yang diperselisihkan oleh fuqaha. Sebagian fuqaha menyatakan keberadaan kewajiban harta yang harus dikeluarkan
selain zakat. Pendapat ini juga mendapat sebagian sahabat, seperti Umar ibn
al-Khatthab, Ali Bin Abi Thalib, Abu Dzar al-Ghifari, Aisyah, Abdullah ibn
Umar, Abu Hurairah, Hasan ibn Ali, dan Fatima binti Qai. Di antara golongan
tabi’in yang berpendapat senada adalah al-sya’bi, Mujahid, dan Tawus. Dengan
demikian, pendapat tersebut bukan merupakan suatu yang baru dalam fiqih Islam
dan Ibnu Hazm bukan orang yang pertama berpendapat demikian.
Berbeda dengan pendapat diatas,
sebagian fuqaha yang lain menyatakan
tidak ada kewajiban harta selain zakat. Harta yang dikeluarkan selain zakat
merupakan sedekah atau santunan yang disunnahkan. Pendapat kedua ini mansyur di
kalangan fuqaha mutaakhirin, sehingga nyaris tidak dikenal pendapat yang lain.
Dalil yang dikemukakan oleah kelompok kedua ini diantaranya adalah hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhori, muslim, dan lainnya dari sahabat Thalhah r.a., ia
berkata:
“seorang
sahabat laki-laki dari penduduk Najd dengan rambut tergerai datang menghadap
Rasulullah saw. Suaranya terdengar parau dan apa yang dikatakan tidak mudah
ditangkap. Setelah mendekati Rasulillah Saw, ia bertanya tentang islam.
Kemudian Rasulullah Saw menjawab “Lima kali shalat dalam sehari-semalam”. Ia
berkata, apakah selain itu ada yang wajib bagi diriku?” Rasul menjawab, “Tidak,
kecuali kamu shalat sunnah.” Rasul berkata, “dan berpuasa Ramadhan”. Ia
berkata, “apakah ada puasa yang lain yang wajib bagi diriku? “Rasul menjawab,
“Tidak, kecuali kamu berpuasa sunnah”. Kemudian Rasul menyebutkan zakat. Ia
berkata, “apakah ada kewajiban selain zaka?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali
kamu bersedekah sunna”. Lantas laki-laki itu berbalik seraya berkata, “aku
tidak akan menambahi ataupun menguranginya”. Rasulullah Saw bersabda, “Dia
berungtung jika jujur” atau “Dia masuk surga jika jujur”.
Hadist
di atas menegaskan tidak ada kewajiban harta selain zakat, akan tetapi
sebenarnya harus dipahami dalam konteks kualitas kewajibannya sama persis
dengan zakat, yakni sebagai suatu kewajiban harta yang bersifat periodik,
penyebab kewajibannya melekat pada jenin dan jumlah harta itu sendiri dengan
ketentuan nisab dan kadar jumlah tertentu, tanpa memandang kondisi
orang-orang yang berhak menerimanya. Ini merupakan bentuk fardu a’in yang wajib dipenuhi oleh seorang yang memiliki harta
tertentu yang mencapain satu nisab, meskipun
tidak ada fakir miskin. Dalam kondisi normal, ia tidak dituntut lebih dari pada
itu.
Adapun kewajiban harta selain zakat
sangat tergantung pada situasi dan kondisi serta kebutuhan atau bersifat aridhi (muncul belakangan karna suatu
sebab) dan bukan dzati dan tidak
tertentu jumlahnya. Kewajiban akan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan
lingkungan, situasi, dan kondisi. Jika fakir miskin dan orang-orang yang layak
untuk disantuni tidak ada dalam suatu waktu, kewajiban tersebut hialng dengan
sendirinya. Inilah tampaknya yang membedakan antara kewajiban zakat dengan
kewajiban pemberian santunan di luar zakat. Ibni Hazm sendiri menyatakan bahwa
kewajiban harta selain zakat tersebut ada selama zakat dan kas negara (bait al-mal) tidak cukup untuk
menanggungnya. Jika mencukupi, kewajiban itu hilang dengan sendirinya. Dengan
demikian, sebenarnya perbedaan antara kedua pendapat tersebut tidak bertolak
belakang sama sekali. Kelompok pertama menyatakan sebagai kewajiban secara kifai, dan kelompok kedua memandangnya
sebagai sesuatu yang sangat dianjurkan.
3)
Zakat
Dalam persoalan zakat, Ibnu Hazm
menekankan pada status zakat sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan
peranan harta dalam upaya memberantas kemiskinan. Menurutnya, pemerintah
sebagai pengumpul zakat dapat memberikan sanksi kepada orang yang enggan
membayar zakat, sehingga orang mau mengeluarkannya, baik secara suka rela
maupun terpaksa. Jika ada yang menolak zakat sebagai kewajiban, ia dianggap
murtad. Dengan cara ini, hukuman dapat dijatuhkan pada orang yang menolak
kewajiban zakat, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan .
Ibnu Hazm menekankan bahwa kewajiban
zakat tidak akan hilang. Seseorang yang harus mengeluarkan zakat dan yang belum
mengeluarkan selama hayatnya harus dipenuhi kewajibannya itu dari hartanya,
sebab tidak mengeluarkan zakat berarti utang terhadap Allah Swt. Hal ini
berbeda dengan pengeluaran pajak dalam
pangdangan konvensional yang jika tidak
di bayarkan berarti kredit macet (tidak ada pemasukan) bagi negara dalam
periode waktu tertentu. Sedangkan kewajiban zakat tidak dibatasi periode waktu
tertentu.
Pemerintah
wajib memberi sanksi bagi yang tidak mau membayar Zakat. Dan beliau menekankan
bahwa kewajiban zakat harus dipenuhi karena urusannya terhadap Allah. Ibn hazm
menerapkan konsep keadilan dalam system pajak, dengan pertimbangan kebutuhan
bagi tiap wajib pajak.[9]
4)
Pajak
Ibnu Hazm sangat fokus terhadap
faktor keadilan dalam sistem pajak. Menurutnya, sebelum segala sesuatunya
diatur, hasrat orang untuk mengeluarkan kewajiban pajak harus dipertimbangkan
secara cermat karena apapun kebutuhan seseorang terhadap apa yang
dikeluarkannya akan berpengaruh pada sistem dan jumlah pajak yang dikumpulkan.
Hal ini mengajak kita untuk mendiskusikan teori keuangan publik (publik finance) konvensional berkaitan
dengan kecenderungan orang untuk membayar pajak.
Ibnu Hazm sangat memperhatikan
sistem pengempulan pajak secara alami. Dalam hal ini, menurutnya, sikap kasar
dan eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus dihindari. Pengumpulan pajak
juga tidak boleh melampaui batas ketentuan syariah. Hilangnya para pembayar
zakat berarti juga hilangnya eksistensi suatu negara. Hal ini, mungkin terjadi
karena hilangnya hasrat orang untuk membayar pajak sehingga mengurangi dukungan
publik untuk tegaknya kekuasaan pemerintah dan menurunnya pendapatan pajak
potensial juga mungkin muncul akibat terjadinya penyimpangan dan kecerobohan
para petugas pajak.
Penghimpunan
administrasi pajak di andalusia pada masa Ibnu Hazm dikemukakan oleh S.M.
Imamuddin:
“cabang
departemen keuangan terendah berada di pedesaan dan dikelola oleh seorang
kepala devisi yang disebut amil. Saat hasil panen tiba, ladang diawasi dan
hasil produksinya diperhitungkan oleh seorang petugas yang di sebut ash-shar.
Saat itu, ada mutaqabbil yang bertugas mengumpulkan pajak dan kewajiban lain
berkaitan dengan fiskal di wilayahnya. Untuk mengawasi para petugs ini dari
penipuan dan harga yang melebihi kewajiban dilakukan pengawasan ketat,
sehingga, jika hal ini dilakukan, mereka akan ditangkap”.
Dari catatan penghitungan pajak dan
sensus yang dilakukan selama masa yusuf al-Fihri dan Bishop Hostegesis telah
mendeskripsikan secara lengkap daftar pembayar pajak dan jizyah selama masa
Muhammad. Hal ini menunjukkan pajak telah direalisasikan pada saat itu.
Besarnya nilai pajak tanah umumnya
adalah sebesar 1/6 atau 1/3 sesuai dengan kualitas tanah. Praktek pengumpulan
zakat sejenis ini telah dilakukan oleh para amir
(gubernur) masa dinasti bani Umayyah dan terus berlanjut pada setelahnya
dengan nilai yang sepadan ataupun dengan uang tunai. Pajak tanah dikumpulkan
dengan nilai yang sepadan dilakukan pada periode Hakam I sejumlah 4700 mud gandum dan 7.747 mud barley. Ali ibnu mahmud (1009-1018
M) mewajibkan orang membayar pajak tanah dalam bentuk uang tunai sebesar 6
dinar untuk 1 mud gandum dan 3 dinar
untuk 1 mud barley. untuk orang
muslim, diwajibkan membayar zakat 2,5% dari kekayaannya dan seorang yang baru
masuk islam berkewajiban membayar jizyah secara bervariasi dari 12-48 dirham
setahun. Saat itu, terdapat kantor-kantor pajak di kota besar dan kecil, pusat
perdagangan dan pelabuhan. Idris menyatakan bahwa terdapat kantor pajak di
lorca da Himyari. Senjata, kuda perang, buku-buku, dan alat-alat perkawinan bebas
bea impor.
Setelah dikurangi pengeluaran
administrasi lokal, sisa pajak disimpan di kantor kas lokal. Dari sana,
kemudian dialihkan ke kantor pusat di Kordova yang mengawasi seluruh kantor kas
daerah dan menutupi kekurangan pada provinsi lain yang mengalami defisit.
Pajak-pajak juga dikumpulkan dari mustakhlas (tanah kerajaan) yang
diserahkan langsung ke bait al-mal
al-khas (kas kerajaan) untuk biaya pribadi raja. Pajak-pajak tanah kerajaan
dikumpulkan di provinsi yang memiliki tanah sitaan dari para bangsawan
sepanjang masa. Kepala administrasi kekayaan keraajan disebut rahib al-diya. Pendapatan tahunan dari
tanah dan pasar ini sendiri berjumlah 765.000 dinar pada periode abdurrahman
III. Sejumlah penguasa menetapkan kebijakan tertentu bagi para pembayar pajak
yang mengalami musibah. Abdurrahman III saat berkuasa menghapuskan pajak-pajak
illegal. Hakam II mengurangi pajak militer dan pajak-pajak yang tidak biasa
tahun 1-6 pada tahun 975 M.
Paparan di atas bukan merupakan
struktur administrasi pajak yang meliputi berbagai elemen yang disampaikan Ibnu
Hazm, tetapi merupakan berbagai cara pengumpulan pajak tertentu yang pada saat
itu berjalan meskipun keadilan bagi pemabayar pajak tidak diperoleh saat
membayar sejumlah pajak yang ditentukan. Hal ini tidak adil dalam pandangan
Ibnu Hazm. Ketiadaan etika dapat menghancurkan sistem administrasi dan struktur
yang baik karena di akhir analisisnya ia menilai bahwa sistem ini masih
dilaksanakan oleh orang yang tidak memiliki etika yang sesuai dengan sistem administrasi
yang baik.
4.
Koreksi Terhadap Pendapat yang Mengatakan bahwa Ibnu
Hamz Cenderung pada Pemikiran Sosialis
Pengikut sosialis dan kapitalis
selalu memberikan label pada para penganut idiologinya. Dalam hal ini, Ibnu
Hazm oleh kelompok sosialis dianggap sebagai seorang sosialis muslim. Hal ini,
perlu diluruskan. Akan tetapi terlebih dahulu dilihat berbagai alasan berikut
sehingga Ibnu Hazm dianggap cenderung pada pemikiran sosialis:
1.
Memperjuangkan
kesejahteraan sosial
2.
Menyertakan
pajak pada orang kaya sehingga mereka berperan dalam upaya pengentasan
kemiskinan
3.
Mendukung
adanya intervensi pemerintah terutama dalam persoalan pajak
4.
Ibnu
Hazm secara konsisten cenderung pada kepentingan sosialis meskipun dirinya
berasal dari keluarga bangSawan dan ia sendiri pernah menjabat sebagi wazir selama tiga periode.
Sulit dibuktikan bahwa alasan utama
mengapa Ibnu Hazm dikatakan sebagai seseorang sosialis berdasarkan empat alasan
tersebut. Masing-masing alasan menempatkan Ibnu Hazm pada posisi mana kelas
orang miskin dihadapkan secara berlawanan dengan orang kaya (adanya perbedaan
kelas). Terlebih bagi, Ibnu Hazm dinyatakan mendukung adanya intervensi negara
dalam penyelesaian suatu persoalan.
BAB II
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Ibnu
Hazm, bernama lengkap Abu Muhammad Ali Ibn Abu Umar Ahmad Ibn Said Ibn hazm
al-Qurthubi al Andalusi, lahir pada akhir bulan Ramadhan 184 H (994 M).
Ia berasal dari
sebuah keluarga bangsawan dan kaya. Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang
keturunan Persia dan wazir administrasi pada masa pemerintahan Hajib al-Mansur
Abu Amir Muhammad bin AbuAmir al-Qanthani (w. 192 H) dan Hajib Abdul Malik
al-Mudzaffar (w. 399 H/1009 M).
Sejak ibunya wafat , Ibnu Hazm kecil tinggal di istana dengan para pengasuh
yang terdiri dari para wanita terpelajar. Mereka mengajarkan baca tulis,
membaca dan memahami maksud al-Qur’an serta berbagai syair Arab. Setelah itu,
Ibnu Hazm diserahkan kepada Abu Ali al-Husein bin Ali al-Fasi, seorang ulama
yang mengesankan hatinya, baik dari segi ilmu, amaliah, maupun kewara’-annya.
Ia belajar hadis untuk pertama kalinya kepada Amir al-Jasur ketika berusia 16
tahun.Ibnu Hazm mempelajari ilmu dari ulama lainnya, baik selama ia menetap di
Kordova maupun selama pengembaraannya diberbagai kota hingga Maroko.
Ia menyerap
berbagai ilmu agama dan umum, seperti tafsir dan hadis, fiqih, ushul fiqh,
teologi,perbandingan agama, bahasa, sastra, sejarah, dan filsafat. Keberhasilan
Ibnu Hazm tidak terlepas dari arahan orang tuanya yang menyukai ilmu
pengetahuan, disamping ketekunan dan kesungguhan diri serta kecerdasan yang
luar biasa.
Dalam ketidakpastian politik, Ibnu Hazm
mengikuti jejak ayahnya sebagai wazir sebagai tiga periode, yakni pada masa
Khalifah Abdurrahman IV al-Murtadha yang menjadi pembantu Umayyah, pada masa Abdurrahman
V al-Mustanshir, dan pada masa Hisyam al-Mu’tad.Sepanjang hayatnya, Ibnu Hazm
tidak hanya terlibat dalam pekerjaan administrasi negara. Setelah situasi cukup
aman, ia mulai mengembangkan karirnya sebagai pengajar dan penulis hingga akhir
hidupnya.Ibnu Hazm wafat di desa Manta Lisham, dekat Sevilla.
Tumbangnya Dinasti Umayyah dan kegagalan di
bidang politik tersebut menyadarkannya untuk kembali menekuni dunia keilmuan
secara lebih serius dan intensif hingga membawanya ke puncak keilmuan dan mengukirkan
diri dalam sejarah perkembangan intelektual Islam. Pada awalnya, Ibnu Hazm
menganut mazhab Maliki yang ketika itu merupakan mazhab mayoritas dikawasan
Andalusia dan Maghribi pada umumnya.
Dalam Perkembangan selanjutnya, Ibnu Hazm
beralih ke mazhab Syafi’i. Perpindahan ini agaknya merupakan bagian dari proses
pembentukan dan masa transisi kearah pencarian, pematangan diri, dan
kemandirian pemikirannya. Perpindahan tersebut memperlihatkan ketidak puasannya
terhadap mazhab Maliki, sikap ulama dan masyarakat dalam bertaklid kepada
mazhab ini secara fanatik. Kecenderungan Ibnu Hazm terhadap mazhab Zhahiri
tampaknya terkait erat dengan fenomena sosial politik dan keagamaan di
Andalusia pada masa hidupnya. Krisis politik yang berkepanjangan mengakibatkan
runtuhnya kekhalifahan. Penyelewengan dan kezaliman al-Muluk al-Thawaif berakar
pada ketidak tegasan pelaksanaan syariat Islam, bahkan cenderung
meninggalkannya. Sebagai fuqaha mazhab Maliki di Andalusia yang memegang
jabatan qadi menjadi kurang responsif, oportunistik, tunduk pada kemauan
politik, dan kebijakan hukum penguasa, meskipun jelas-jelas menyimpang dari
syariat. Mereka tidak lagi menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar
dalam rangka mengontrol pengusaha dan berbagai kekuatan sosial yang bersaing tidak
sehat.
Mereka tampil
dalam posisi yang lemah dan defensif dalam menghadapi kebijakan pemerintah dan
kekuatan yang lebih dominan yang terkait dengan syariat serta berlindung di
balik penggunaan ra’yi dalam rangka mengamankan diri dari tekanan
kezaliman penguasa yang menyeleweng itu.
Situasi Andalusia yang dipegang oleh para penguasa yang tidak cakap da lemah
mengundang kehadiran berbagai pihak lain yang bersaing dalam menanamkan
pengaruh untuk memperoleh legitimasi dalam memegang tampuk kekuasaan politik
yang sebenarnya.
Akibatknya, Khalifah hanya menjadi simbol yang
tidak berperan secara signifikan. Disamping itu, muncul intervensi kekuatan
non-muslim yang mengulurkan bantuan kekuatan kepada pihak yang dianggap
menginginkan bantuan tersebut. Bantuan tersebut sudah tentu disertai
persyaratan dan konsesi tertentu yang merugikan kaum muslimin. Kerjasama ini
dinilai Ibnu Hazm bertentangan dengan syariat Islam karena secara politis
memberi peluang kepada musuh untuk meruntuhkan Islam. Selanjutnya, muncul al-Muluk
al-Thawaif yang mempergunakan gelar Amirul Mukminin dan gelar
lainnya hanya layak bagi khalifah.Fuqaha Maliki tersebut cenderung
bersikap toleran terhadap penyimpangan mereka bahkan bersikap diam ketika salah
seorang dari mereka mengklaim dirinya sebagai khalifah keturunan Bani Umayyah
yang sebenarnya hanya seorang berkulit hitam yang berasal dari Afrika.
Kondisi sosial dan politik yang sedemikian parah telah menempatkan qiyas
dan istihsan sebagai alat bagi timbulnya kolusi antara sebagian fuqaha
dengan penguasa dalam memberikan berbagai fatwa hukum yang berkaitan dengan
realitas kehidupan yang rusak.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, Ibnu Hazm
memilih jalur untuk mengkaji hukum Islam mulai dari awal dengan kebebasan
berijtihad dan menola taklid. Menurutnya, ijtihad adalah kembali kepada
al-Qur’an dan hadis.Akibat sikapnya yang melawan arus itu, banyak diantara para
fuqaha Maliki yang membenci dan memusuhi Ibnu Hazm.
Sosok Ibnu Hazm adalah seorang pemikir besar
yang berasal dari suku Arab muslim. Ia telah membuktikan dirinya sebagai sumber
literatur, sejarahwan, filolog, retorik, qadi, filosuf, dan teolog. Ia
mampu menangkap dengtan cepat seluruh informasi mutakhir yang membuatnya
produktif, meluaskan pengajaran, menyebarkan bahasa Arab, dan menyiapkan
perangkat yang mendasari ilmu pengetahuan.
2.
Saran dan Kritik
Dalam makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan
hanya milik ALLAH, untuk itu kami selaku penulis mengharap saran dan kritik
yang membangun demi perbaikan makalah selanjutnya.
[1] biografi-dan-pemikiran-ibn-hazm-dan.html
[2] ibn-hazm-ulama-brilian-dari-spanyol.html/di akses tanggal 20
September 2012
[3] Prof. Dr. azymardi Azra. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok : Gramata publishing. 2010. Hlm, 182
[4] pemikiran-ekonomi-ibnu-hazm-994-1064-m.html/di akses tanggal 20
September 2012
[5] Ibid. Hlm, 183
[6] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT Raja
Grafindo. 2010. Hlm, 108
[7] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT Raja
Grafindo. 2010. Hlm, 94
[8] QS. Surah Al Isra’ 17:26
[9] pemikiran-ekonomi-al-mawardi-ibn-hazm.html/di akses tanggal 20
September 2012