Ahad, 14 April 2013

Sejarah Pemikiran Ekonomi Ibnu Hazm



BAB I
PENDAHULUAN
1.                  Latar Belakang Masalah
Pemikliran ekonomi islam telah ada sejak 1300 tahun yang lalu, yaitu sejak nabi Muhammad SAW. Perjalanan sejarah mengarahkan kepada kita untuk mengetahui bahwa ekonomi Islam telah mengalami kehilangan pengakuan selama masa kemunduran hingga masa modernis. Hingga tiba saatnya terjadi upaya pengakuan kembali, setelah adanya pernyataan para kaum cendekiawan bahwa konsep rumusan ekonomi Islam yang telah digagas para ulama’ masa keemasan ketika Islam mengalami zaman kemunduran telah dilakukan tindak plagiatisme terhadap banyak segi keilmuannya. Menurut Chapra , meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum muslimin, namun Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia.
Kontribusi kaum muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Buku-buku teks ekonomi Barat hampir tidak pernah menyebutkan peranan kaum muslimin ini. Menurut Chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum muslimin, namun Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia.[1]
Para sejarahwan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif. Sebagai contoh, sejarahwan sekaligus ekonom terkemuka, Joseph Schumpeter, sama sekali mengabaikan peranan kaum muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St.Thomas Aquinas (1225-1274 M).
2.                  Rumusan Masalah
1)      Bagaimana Riwayat Hidup Ibn Hazm ?
2)      Bagaimana karir, kondisi politik-sosial dan kecenderungan mazhabnya ?
3)      Apa saja hasil pemikiran ekonomi Ibn hazm ?
3.                  Tujuan Masalah
1)   Mengetahui Riwayat Hidup Ibn Hazm
2)    Mengetahui karir, kondisi politik-sosial dan kecenderungan mazhabnya
3)    Mengetahui pemikiran ekonomi Ibn hazm




BAB II
PEMBAHASAN
1.                  Riwayat Hidup
Ibnu Hazm, bernama lengkap Abu Muhammad Ali Ibn Abu Umar Ahmad Ibn Said Ibn hazm al-Qurthubi al Andalusi, lahir pada akhir bulan Ramadhan 184 H (994 M). Ia berasal dari sebuah keluarga bangsawan dan kaya. Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang keturunan Persia dan wazir administrasi pada masa pemerintahan Hajib al-Mansur Abu Amir Muhammad bin AbuAmir al-Qanthani (w. 192 H) dan Hajib Abdul Malik al-Mudzaffar (w. 399 H/1009 M).[2]
            Sejak ibunya wafat , Ibnu Hazm kecil tinggal di istana dengan para pengasuh yang terdiri dari para wanita terpelajar. Mereka mengajarkan baca tulis, membaca dan memahami maksud al-Qur’an serta berbagai syair Arab. Ia nyaris terisolasi dalam istana dan tidak begitu mengenal dunia luar serta lingkungan masyarakat Kordova yang padda saat itu merupakan kota metropolis.[3]
Setelah itu, Ibnu Hazm diserahkan kepada Abu Ali al-Husein bin Ali al-Fasi, seorang ulama yang mengesankan hatinya, baik dari segi ilmu, amaliah, maupun kewara’-annya. Ia belajar hadis untuk pertama kalinya kepada Amir al-Jasur ketika berusia 16 tahun[4]. Pada saat itu, hadis dan fiqh merupakan dua bidang ilmu yang berkaitan, sehingga dapa dikatakan bahwa Ibn Hazm juga mempelajari fqh disaat yang sama.
Ibnu Hazm mempelajari ilmu dari ulama lainnya, baik selama ia menetap di Kordova maupun selama pengembaraannya diberbagai kota hingga Maroko. Ia menyerap berbagai ilmu agama dan umum, seperti tafsir dan hadis, fiqih, ushul fiqh, teologi,perbandingan agama, bahasa, sastra, sejarah, dan filsafat. Hal ini terganbar dari sekian banyak karyanya yang meliputi berbagai bidang tersebut, sehingga dikenal sebagai ilmuan yang generalis dan produktif.[5] Keberhasilan Ibnu Hazm tidak terlepas dari arahan orang tuanya yang menyukai ilmu pengetahuan, disamping ketekunan dan kesungguhan diri serta kecerdasan yang luar biasa.

2.                  Karir, Kondisi Sosial-Politik dan Kecenderungan Mahdzabnya
Dalam ketidakpastian politik, Ibnu Hazm mengikuti  jejak ayahnya sebagai  wazir selama tiga periode, yakni masa Khalifah Abdurrahman IV al-Murtadha yang menjadi pembantu umayyah, pda masa Abdurrahman V al-Musthansir, dan pada masa Hisyam al-Mu’tad. Beliau terlibat secara langsung dalam situasi polittik praktis untuk menghadapi serangan Bani Hammud (cenderung kepada mazhab Syi’ah) dari maghribi yang menggulingkan bani Umayyah di Andalusia, selama dua decade menjelang keruntuhannya pada tahun 422M.
            Sepanjang hayatnya, Ibnu Hazm tidak hanya terlibat dalam pekerjaan administrasi Negara. Setelah situasi cukup aman, ia mulai mengembangkan karirnya sebagai pengajar dan penulis hingga akhir hidupnya. Ibnu Hazm wafat didesa Manta Lisham, dekat Sevilla. Tumbangnya Dinasti Ummayyah dan kegagalan dibidang politik tersebut menyadarkannya untuk kemabali menekuni dunia keilmuan secara lebih serius dan intensif hingga membawanya kepuncak keiluan dan mengukirkan diri dalam ejarah perkembangan intelektual islam.
Pada awalnya, Ibnu Hazm menganut Mazhab Maliki yang ketika itu merupakan Mazhab mayoritas di kawasan Andalusia dan Maghribi pada umumnya. Mazhab ini bukan saja menjadi anutan masyarakat dan ulama setempat, akan tetapi juga menjadi mazhab resmi Negara. Hal ini tergambar dalam para pemegang jabatan qadi dan keputusan yang harus berlandaskan mazhab tersebut. Disamping itu ia menerima pelajaran awalnya dari ulama Maliki, seperti Abdullah bin Dahundan Ahmad bin Jasur, dengan mempelajari kitab karangan Imam Malik, al-Muwaththa. Dengan mempelajari kitab  tersebut Ibnu Hazm sekaligus mempelajari hadist dan fiqih mazhab ini.
            Dalam perkembangan , Ibnu Hazm beralih ke mazhab Syafi’I. perpindahan ini agaknya merupakan bagian dari proses pembentukan dan masa transisi kea rah pencarian, pematangan diri dan kemandirian pemikirannya. Perpindahan tersebut memperlihatkan ketidakpuasannya terhdap mazhab Maliki, sikap ulama dan masyarakat dalam bertaklid kepada mazhab ini secara fanatic. Hal ini terlihat dalam reaksi mereka ketika berdiskusi dan berbeda pendapat dengan Ibnu Hazm di Valencia. Mereka bereaksi keras dengan menyatakan: “ini bukanlah mazhabmu”.
            Kecenderungan Ibnu Hazm kepada mazhab Zhahiri nampaknya terkait erat denganfenomena social politik dan keagamaan di Andalusia pada masa hidupnya. Krisis politik yang berkepanjangan mengakibatkan runtuhnya kekhalifahan, penyelewengan dan kedhzaliman al-muluk althawaif berakar pada ketidak tegasan  pelaksanaan syariat islam, bahkan cenderung meninggalkannya. Sebagian fuqaha mazhab maliki di Andalusia yang memegang jabatan qadi menjadi kurang responsive, oppurtunistik, tunduk pada kemauan politik, dan kebijakan hokum penguasa, meskipun sudah jelas – jelas menyimpang syariat. Mereka tidak lagi menjalankan tugas amar ma’ruf nahi mungkar dalam rangka mengontrol penguasa dan berbagai kekuatan social yang bersaing tidak sehat. Merekatampil dalma posisi yang lemah dan defensive dalam menghadapi kebijakan pemerintah dan kekuatan yang lebih dominan yang etrkait dengan syariat serta berlindung dibalik penggunaan ra’yidalam rangka mengamankan diri dari tekanan kedzaliman penguasa yang menyeleweng itu.
            Situasi andalusia  yang dipegang oleh para penguasa yang tidak cakap dan lemah mengundang kehadiran berbagai pihak lain yang bersaing dalam menanamkan pengaruh untuk memperoleh legitimasi dalam memegang tampuk kekuasaan politik yang sebenarnya. Akibatnya, khalifah hanya menjadi symbol yang tidak berperan secara signifikan.[6]
            Disamping itu, muncul interfensi kekuatan nonmuslim yang mengulurkan bantuan kepada pihak yang dianggap mengingikan bantuan tersebut. Bantuan tersebut sudah tentu disertai persyaratan dan konsesi tertentu yang merugikan kaum muslimin. Kerjasama ini menilai Ibnu Hazm bertentangan dengan syariat islam karena secara politis member peluang kepada musuh untuk meruntuhkan islam. Dalam skala makro, umat islam yang dalam posisi lemah bisa jadi akan lebih mudah tunduk pada kemauan politik mereka, sebagai imbalannya. Umat islampun harus membayar mahal dengan jatuhnya kekhalifahan Bani Ummyyah di Andalusia.
            Selanjutnya, muncul Al-Muluk al-thawaih yang mempergunakan amirul mu’minin dan gelar lainnya yang hanya layak bagi khalifah.[7] Fukaha Maliki tersebut cenderung bersikap toleran penyimpanhan mereka, bahkan bersikap diam ketika salah seorang dari mereka mengklaim dirinya sebagai khalifah keturunan Bani Ummayyah yang sebenarnya hanya seorang berkulit hitam yang berasal dari Afrika. Ia yang mengaku dirinya sebagai khalifah al-Muayyd Hisyam bin al-Hakam yang sebenarnya telah wafat 22 tahu sebelumnya. Yang lebih mengherankan lagi adalah fatwa Fukaha Maliki yang bersedia memabaiatnya. Mereka juga bersikap diam saja terhadap kedzaliman para penguasa yang menetapkan pungutan yang berlebih-lebihan terhadap masyarakat.
            Kondisi social dan politik yang sedemikian parah telah menempatkan qiyas dan istihsan sebagai alat bagi timbulnya kolusi antara sebagian Fukaha dengan penguasa dalam memberikan berbagai fatwa hukum yang berkaitan dengan realitas kehidupan yang rusak. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, Ibnu Hazm emilih jalur untuk mengkaji hukum islam mulai dari awal dengan kebebasan berijtihad dan menolak taklib. Menurutnya, ijtihad adalah kembali kepada Al-Quran dan Hadist. Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa kezahiran Ibnu Hazm merupakan reaksinya terhadap fenomena social politik yang secara mendasar membutuhkan perbaikan dari sisi landasannya, yaitu pengetatan pemahaman dan penerapan nash syariat. Oleh karena itu, aktifitas intelektualnya, terutama dalam bidang fiqih merupakan upaya untuk mengubah aspek pemikiran yang menjadi dasar berbagai penyelewengan hukum yang terjadi itu, mengembalikan fqkaha kepada  sumbernya, Al-Quran dan hadist, bukan saja furu’-nya.
            Akibat sikapnya yang melawan arus itu banyak diantara para fuqaha maliki yang membenci dan memusuhi Ibnu Hazm. Mereka tidak segan – segan menggunakan berbagai cara untuk meredam aktifitas Ibnu Hazm dalam menyebarkan pemikirannya. Mereka menghasut penguasa untuk memikirkannya dari wilayah kekuasaan mereka. Ibnu Hazm dipandand sebagai tokoh oposan yang dapat mengancam posisi mereka. Mereka berdalaih bahwa Ibnu Hazm adalah seorang tokoh fanatic dalam doktrin Imamah dan mempunyai loyalitas tinggi kepada Bani Ummayyah sebagai orang yang layak menduduki jabatan khalifah, apalgai ia berasal dari suku Quraisyi. Disamping itu, kitab – kitab Ibnu Hazm dibakar oleh al-Mu’tadid, penguasa sevilla, sebelum ia terusir dari wilayahnya seperti tercermin dalam syairnya yang dikutip diatas. Hal in, disebabkan adanya pengaduan dari fukaha maliki yang mengatakan bahwa Ibnu Hazm menghujat Imam Malik dan tiga mazhab Suni lainnya, serta mengeluarkan fatwa yang tidak sesuai dengan keempat mazhab tersebut.
            Sosok Ibnu Hazm saat itu adalah seorang pemikir besar yang berasal dari suku Arab muslim. Ia telah membuktikan dirinya sebagai sumber literatur, sejarahwan, filolog, retorik, qadi, filosof, dan teolog. Pendidikan yang tinggi dan lingkuang keluarga yang kondusif sangat mempengaruhi karirnya. Ia mampu menangkap dengan cepat seluruh informasi mutakhir yang membuatnya produktif, meluaskan pengajaran, menyebarkan bahasa arab dan menyiapkan perangkat yang mendasari ilmu pengetahuan.
Beberapa faktor yang menyebabkan Ibnu Hazm berpengatahuan dan memiliki kepemimpinan hingga menempatkannya pada posisiyang tinggi adalah:
1.    Berkepribadian baik. Hal ini sangat penting dalam membentuknya sebagai seorang pemikir besar, kuat daya ingatnya, tajam dalam pemikiran dan bicaranya, kuat pengamatannya, dan daya analisisnya yang patut dihargai.
2.    Keunggulan yang diperolehnya melalui pendidikan menyatu dengan semangatnya dalam belajar dan merespon hal-hal yang actual membentuk luas dan dalam pengetahuannya. Di antara gurunya adalah Abdul Qaim Rahman ibn Abi Yazid al-Azdi al-Asri (dalam bidang budaya, tata bahasa, leksikografi, retorika, dialektika, dan teologi), Abu Khiyar al-Lughawi (dalam bidang fikih), Ahmad ibn Muhammad ibn Jasur (dalam bidang hadis), Abu Abdullah al-Mahdiji (dalam bidang filsafat), dan Abu Said al-Fata’a ja’far (dalam bidang puisi).
3.    Penguasaannya terhadap beberapa bahasa asing.
4.    Lingkungan keluarga yang kondusif mempengaruhi perkembangan karirnya.
5.    Aktif sebagai Wazir dalam urusan public dan administrasi, karir dalam bidang politik dan militer ini membuatnya sangat tegas dan jelas dalam pemikirannya.
6.    Jabatan yang dipegang memberikan pengaruh positif dalam pengembangan karirnya.
                         


3.                  Pemikiran Ekonomi
Menurut anaknya, abu rafi’, ibnu Hazm memiliki 400 karya yang terdiri dari 80.000 lembar.karya meliputi bidang hukum,logika, sejarah,etika ,perbaandingan agama,dan teologi. Beberapa pemikirannya yang terkenal dalam bidang ekonomi antara lain:
1)      Masalah Sewa Tanah dan Kaitannya Dengan Pemerataan Kesempatan
            Sejalan dengan pendekatan zahirinya, ibnu Hazm mengemukakan konsep  pemerataan kesempatan berusaha dalam  istinbat hukumnya dibidang ekonomi,sehingga cenderung pada prinsip-prinsip ekonomi sosial islami yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat banyak dan berlandasakan keadilan sosial dan keseimbangan sesuai dengan petunjuk Al-quran dan hadist.oleh karena itu sebagian penulis kontemporer menyatakannya sebagai perintis ekonomi sosialis yang islami. Namun demikian,penilaian tersebut terlalu berlebihan dan cenderung  menarik-nari syariat islam kepada suatu sistem ekonomi kontemporer produk pemikiran barat. Syariat islam bukan merupakan sistem sosialis yang menekankan kepemilikan kolektif sebagaimana pula bukan pemikiran kaum kapitalis  yang menekankan kepada pemilikan individual. Diantara pernyataan ibnu Hazm berkenan dengan sewa tanah adalah :  
            “Menyewakan tanah sama sekali tidak di perbolehkan, baik untuk bercocok tanam,perkebunan,mendirikan bangunan, ataupun segala sesuatu, baik untuk jangka pendek,jangka panjang,maupun tanpa batas waktu tertentu,baik dengan imbalan dinar maupun dirham.bila hal ini terjaddi, hukum sewa-menyewanya batal selamanya.”
Selanjutnya ,ibnu Hazm menyatakan:
            “Dalam persoalan tanah,tidak boleh dilakukan kecuali muzara’ah(penggarapan tanah) dengan sistem bagi hasil produksinya atau mugharasah (kerjasama penanaman). jika terdapat bangunan pada tanah itubanyak atau sedikit,bangunan itu boleh disewakan  dan tanah itu ikut pada bangunan tetapi tidak masuk dalam  penyewaan sama sekali”.
            Dengan pernyataan tersebut,ibnu Hazm  memberikan  tiga alternatif  penggunaan tanah,yaitu pertama, tanah tersebut dikerjakan atau di garap oleh pemiliknya sendiri, kedua, si pemilik mengizinkan orang lain menggarap tanah tanpa meminta sewa. Ketiga, sipemilik memberikan kesempatan orang lain untuk menggarabnya dengan bibit, alat, atau tenaga kerja yang berasal dari dirinya, kemudian si pemilik memperoleh bagian dari hasilnya dengan persentasi tertentu sesuai kesepakatan. Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh rasulullah Saw dengan kaum yahudi terhadap tanah khaibar. Dalam sistem ini, jika tanaman itu gagal, si penngarap tidak dibebani tanggung jawab tertentu.
Pandangan tersebut didasari pemahaman zahiriyahnya sebagai berikut:

Dari Rafi’ bin Khudaij r.a.,ia berkata:
“Rasulullah saw melarang penyewaan tanah” (Riwayat Bukhari)

Dari jabir bin Abdillah r.a., ia berkata:
“Rasulullah saw melarang  pengambilan upah atau bagian tertentu dari tanah”. (Riwayat Muslim)

Dari  Abu Hurairah r.a.,ia berkata:
Rasullah saw bersabda: “ Barang siapa memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya. Jika ia menolak, tahanlah tanah tersebut”.(Riwayat Muslim)
            Selanjutnya, berkenaan dengan muamalah Rasulullah saw dengan penduduk yahudi khaibar untuk mengerjakan dan menanami tanah khaibar dengan biaya dari mereka dan Rasul memperoleh bagi hasil,hal tersebut atas permintaan mereka sendiri.menurut Ibnu hazm, hal ini merupakan pengecualian dari seluruh larangan penyewaan tanah.”
            Agaknya,pandangan Ibnu Hazm tersebut bertitik tolak dari status tanah sebagai barang yang tidak hancur (sil’ah ghair istikhlakiyyat) yang pada umumnya peran hasil kerja dan kreasi manusia tidak menonjol.yang tampak ialah bahwa tanah itu merupakan ciptaan  Allah Swt dimana manusia tinggal memanfaatkannya dan mengklaim dan pengusaannya.dengan demikian,kepemilikan tersebut tidak mutlak, tetapi justru relatif selama ia memanfaatkannya.
            Jika tidak memanfaatkannya,ia harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkannya  sesuai dengan asas kepemilikan umum tanah sebagai ciptaan Allah Swt. Oleh karena itu,menurut Ibnu Hazm, tanah tidak bisa disamakan dengan rumah atau peralatan yang secara nyata merupakan hasil kerja dan jerih payah manusia untuk membuatnya sehingga dapat disewakan.
            Disamping itu,larangan penyewaan tanah dan alternatif bagi hasil,menciptakan iklim bekerja dan berusaha yang lebih baik bagi orang-orang yang tidak mampu dengan risiko kecil dalam menangggung kerugian akibat bencana alam atau penyakit,sehingga gagal panen. Dengan seperti ini,keuntungan akan dinikmati bersama, dan begitu pula sebaliknya,risiko kerugian dan kegagalan panen dipikul bersama.
            Hal ini, jauh berbeda dengan sistem penyewaan tanah.kerugian dalam panen sama sekali tidak menyertakan pemilik tanah menanggun kerugian yang diakibatnya karena ia menerima sewa secara utuh.konsekuensinya,kerugian yang ditanggung oleh penyewa semakin besar yaitu sewa tanah dan biaya pengolahan,penanaman dan perawatan serta tenaga dan waktu yang tercurah untuknya. Ini jelas tidak adil dan menempatkan orang lemah dalam posisi lemah terus-menerus.
            Pandangan Ibnu Hazm tersebut berbeda dengan jumhur fuqaha yang secara umum memperbolehkan penyewaan tanah,sebagaimana bolehnya melakukan muzara’ah dan mugharasah.termasuk di antara mereka adalah Abu Hanifah,Malik,Abu yusuf ,Zufar, Muhammad binal-Hasan al-Syaibani,al-Syafi’i,dan Abu Sulaiman.Agaknyapendapat ini bertitik tolak dari kepemilikan tanah secara mutlak.si pemilik berhak sepenuhnya atas tanah tersebut,apakah ia memanfaatkannya untuk jangka waktu tertentu ia alihkan kepada orang lain dengan ganti rugi berupa sewa yang dibayarkan kepada pemilik tanah itu sesuai dengan kesepakatan.
2)      jaminan sosial bagi orang tak mampu
a)        Pemenuhan Kebutuhan Pokok (Basic Needs) dan Pengentasan Kemiskinan
            Ibnu Hazm menyebutkan empat kebutuhan pokok yang memenuhi standar kehidupan manusia,yaitu makanan,minuman,pakaian,dan perlindungan(rumah). Makanan dan minuman harus dapat memenuhi kesehatan dan energi. Pakian harus dapat menutupi aurat dan melindungi seseorangdari berbagai dari udara panas dandingin serta hujan.Rumah harus dapat melindungi seseorang dari berbagai cuaca dan juga memberikan tingkat kehidupan pribadi yang layak.
            Dalam konteks ini,Ibnu Hazm mengingatkan bahwa kemiskinan selalu tumbuh dalam situasi tingkat komsumsi atau kebutuhan lebih tinggi dari pada pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan.Hal ini,terjadi akibat laju populasi yang meningkat cepat akibat kelahiran dan migrasi). Kesenjangan yang lebar antara si kaya dengan si miskin dapat menambah kesulitan saat keadaan orang  kaya mempengaruhi struktur adminitrasi,cita rasa dan berbagai pengruh lain, seperti kenaikan tingkat harga dalam aktivitas ekonomi.
            Berkenaan dengan harta wajib di keluarkan zakatnya, Ibnu Hazm memperluas jangkuan dan ruang lingkup kewajiban sosial lain diluar zakat,yang wajib dipenuhi oleh orang kaya sebagai bentuk kepedulian tanggung jawab sosial mereka terhadap orang miskin,anak yatim,danorang  yang tidak mampu atau yang lemah secara ekonomi. Salah satu pandangan Ibnu Hazm yang menarik dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
            orang-orang kaya dari penduduk setiap negari wajib menanggung kehidupan orang-orang fakir miskin diantara mereka.Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat dan harta kaum muslimin (bait al-mal) tidak cukup untuk mengatasinya,orang kafir miskin itu harus diberi makanan dari bahan makanan semestinya,pakian untuk musim dingin dan musim panas yang layak, dan tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan,panas matahari, dan pandangan orang-orang yang lalu lalang”.
Ibnu Hazm mendasarkan pandangannya tersebut pada firman Allah Swt:
Dan berikanlah kepada keluarga – keluarga yang terdekat akan haknya,kepada orang-orang miskin, dan orang dalam perjalanan....”.[8]
Hak- hak yang diperintahkan Allah Swt untuk dipenuhi dipahami ibnu hazm sebagai suatu kewajiban. Hak-hak yang mesti dipenuhi tersebut tidak lain merupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi sandang, pangan, dan papan yang layak dan sesuai  dengan harkat kemanusiaan. Hak tersebut  merupakan  bagian dari hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab sosial secara bersama-sama dalam mewujudkannya, demi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Bagaimanapun juga, kemiskinan tidak pernah dikehendaki oleh siapapun. Orang miskin harus dibantu untuk bisa terbebas dari kemiskinan yang membelenggu.
b)     Kewajiban Mengeluarkan Harta Selain Zakat
persoalan mengenai adanya kewajiban harta selain zakat merupakan persoalan yang diperselisihkan oleh fuqaha. Sebagian fuqaha menyatakan keberadaan kewajiban harta yang harus dikeluarkan selain zakat. Pendapat ini juga mendapat sebagian sahabat, seperti Umar ibn al-Khatthab, Ali Bin Abi Thalib, Abu Dzar al-Ghifari, Aisyah, Abdullah ibn Umar, Abu Hurairah, Hasan ibn Ali, dan Fatima binti Qai. Di antara golongan tabi’in yang berpendapat senada adalah al-sya’bi, Mujahid, dan Tawus. Dengan demikian, pendapat tersebut bukan merupakan suatu yang baru dalam fiqih Islam dan Ibnu Hazm bukan orang yang pertama berpendapat demikian.
                        Berbeda dengan pendapat diatas, sebagian fuqaha yang lain menyatakan tidak ada kewajiban harta selain zakat. Harta yang dikeluarkan selain zakat merupakan sedekah atau santunan yang disunnahkan. Pendapat kedua ini mansyur di kalangan fuqaha mutaakhirin, sehingga nyaris tidak dikenal pendapat yang lain. Dalil yang dikemukakan oleah kelompok kedua ini diantaranya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori, muslim, dan lainnya dari sahabat Thalhah r.a., ia berkata:
                        seorang sahabat laki-laki dari penduduk Najd dengan rambut tergerai datang menghadap Rasulullah saw. Suaranya terdengar parau dan apa yang dikatakan tidak mudah ditangkap. Setelah mendekati Rasulillah Saw, ia bertanya tentang islam. Kemudian Rasulullah Saw menjawab “Lima kali shalat dalam sehari-semalam”. Ia berkata, apakah selain itu ada yang wajib bagi diriku?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu shalat sunnah.” Rasul berkata, “dan berpuasa Ramadhan”. Ia berkata, “apakah ada puasa yang lain yang wajib bagi diriku? “Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu berpuasa sunnah”. Kemudian Rasul menyebutkan zakat. Ia berkata, “apakah ada kewajiban selain zaka?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu bersedekah sunna”. Lantas laki-laki itu berbalik seraya berkata, “aku tidak akan menambahi ataupun menguranginya”. Rasulullah Saw bersabda, “Dia berungtung  jika  jujur” atau “Dia masuk surga jika jujur”.
                        Hadist di atas menegaskan tidak ada kewajiban harta selain zakat, akan tetapi sebenarnya harus dipahami dalam konteks kualitas kewajibannya sama persis dengan zakat, yakni sebagai suatu kewajiban harta yang bersifat periodik, penyebab kewajibannya melekat pada jenin dan jumlah harta itu sendiri dengan ketentuan nisab dan kadar  jumlah tertentu, tanpa memandang kondisi orang-orang yang berhak menerimanya. Ini merupakan bentuk fardu a’in yang wajib dipenuhi oleh seorang yang memiliki harta tertentu yang mencapain satu nisab, meskipun tidak ada fakir miskin. Dalam kondisi normal, ia tidak dituntut lebih dari pada itu.
                        Adapun kewajiban harta selain zakat sangat tergantung pada situasi dan kondisi serta kebutuhan atau bersifat aridhi (muncul belakangan karna suatu sebab) dan bukan dzati dan tidak tertentu jumlahnya. Kewajiban akan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan lingkungan, situasi, dan kondisi. Jika fakir miskin dan orang-orang yang layak untuk disantuni tidak ada dalam suatu waktu, kewajiban tersebut hialng dengan sendirinya. Inilah tampaknya yang membedakan antara kewajiban zakat dengan kewajiban pemberian santunan di luar zakat. Ibni Hazm sendiri menyatakan bahwa kewajiban harta selain zakat tersebut ada selama zakat dan kas negara (bait al-mal) tidak cukup untuk menanggungnya. Jika mencukupi, kewajiban itu hilang dengan sendirinya. Dengan demikian, sebenarnya perbedaan antara kedua pendapat tersebut tidak bertolak belakang sama sekali. Kelompok pertama menyatakan sebagai kewajiban secara kifai, dan kelompok kedua memandangnya sebagai sesuatu yang sangat dianjurkan.
3)      Zakat
                        Dalam persoalan zakat, Ibnu Hazm menekankan pada status zakat sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan peranan harta dalam upaya memberantas kemiskinan. Menurutnya, pemerintah sebagai pengumpul zakat dapat memberikan sanksi kepada orang yang enggan membayar zakat, sehingga orang mau mengeluarkannya, baik secara suka rela maupun terpaksa. Jika ada yang menolak zakat sebagai kewajiban, ia dianggap murtad. Dengan cara ini, hukuman dapat dijatuhkan pada orang yang menolak kewajiban zakat, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan .
                        Ibnu Hazm menekankan bahwa kewajiban zakat tidak akan hilang. Seseorang yang harus mengeluarkan zakat dan yang belum mengeluarkan selama hayatnya harus dipenuhi kewajibannya itu dari hartanya, sebab tidak mengeluarkan zakat berarti utang terhadap Allah Swt. Hal ini berbeda  dengan pengeluaran pajak dalam pangdangan konvensional yang  jika tidak di bayarkan berarti kredit macet (tidak ada pemasukan) bagi negara dalam periode waktu tertentu. Sedangkan kewajiban zakat tidak dibatasi periode waktu tertentu.
Pemerintah wajib memberi sanksi bagi yang tidak mau membayar Zakat. Dan beliau menekankan bahwa kewajiban zakat harus dipenuhi karena urusannya terhadap Allah. Ibn hazm menerapkan konsep keadilan dalam system pajak, dengan pertimbangan kebutuhan bagi tiap wajib pajak.[9]
4)      Pajak
                        Ibnu Hazm sangat fokus terhadap faktor keadilan dalam sistem pajak. Menurutnya, sebelum segala sesuatunya diatur, hasrat orang untuk mengeluarkan kewajiban pajak harus dipertimbangkan secara cermat karena apapun kebutuhan seseorang terhadap apa yang dikeluarkannya akan berpengaruh pada sistem dan jumlah pajak yang dikumpulkan. Hal ini mengajak kita untuk mendiskusikan teori keuangan publik (publik finance) konvensional berkaitan dengan kecenderungan orang untuk membayar pajak.
                        Ibnu Hazm sangat memperhatikan sistem pengempulan pajak secara alami. Dalam hal ini, menurutnya, sikap kasar dan eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus dihindari. Pengumpulan pajak juga tidak boleh melampaui batas ketentuan syariah. Hilangnya para pembayar zakat berarti juga hilangnya eksistensi suatu negara. Hal ini, mungkin terjadi karena hilangnya hasrat orang untuk membayar pajak sehingga mengurangi dukungan publik untuk tegaknya kekuasaan pemerintah dan menurunnya pendapatan pajak potensial juga mungkin muncul akibat terjadinya penyimpangan dan kecerobohan para petugas pajak.
            Penghimpunan administrasi pajak di andalusia pada masa Ibnu Hazm dikemukakan oleh S.M. Imamuddin:
                        “cabang departemen keuangan terendah berada di pedesaan dan dikelola oleh seorang kepala devisi yang disebut amil. Saat hasil panen tiba, ladang diawasi dan hasil produksinya diperhitungkan oleh seorang petugas yang di sebut ash-shar. Saat itu, ada mutaqabbil yang bertugas mengumpulkan pajak dan kewajiban lain berkaitan dengan fiskal di wilayahnya. Untuk mengawasi para petugs ini dari penipuan dan harga yang melebihi kewajiban dilakukan pengawasan ketat, sehingga, jika hal ini dilakukan, mereka akan ditangkap”.
                        Dari catatan penghitungan pajak dan sensus yang dilakukan selama masa yusuf al-Fihri dan Bishop Hostegesis telah mendeskripsikan secara lengkap daftar pembayar pajak dan jizyah selama masa Muhammad. Hal ini menunjukkan pajak telah direalisasikan pada saat itu.
                        Besarnya nilai pajak tanah umumnya adalah sebesar 1/6 atau 1/3 sesuai dengan kualitas tanah. Praktek pengumpulan zakat sejenis ini telah dilakukan oleh para amir (gubernur) masa dinasti bani Umayyah dan terus berlanjut pada setelahnya dengan nilai yang sepadan ataupun dengan uang tunai. Pajak tanah dikumpulkan dengan nilai yang sepadan dilakukan pada periode Hakam I sejumlah 4700 mud gandum dan 7.747 mud barley. Ali ibnu mahmud (1009-1018 M) mewajibkan orang membayar pajak tanah dalam bentuk uang tunai sebesar 6 dinar untuk 1 mud gandum dan 3 dinar untuk 1 mud barley. untuk orang muslim, diwajibkan membayar zakat 2,5% dari kekayaannya dan seorang yang baru masuk islam berkewajiban membayar jizyah secara bervariasi dari 12-48 dirham setahun. Saat itu, terdapat kantor-kantor pajak di kota besar dan kecil, pusat perdagangan dan pelabuhan. Idris menyatakan bahwa terdapat kantor pajak di lorca da Himyari. Senjata, kuda perang, buku-buku, dan alat-alat perkawinan bebas bea impor.
                        Setelah dikurangi pengeluaran administrasi lokal, sisa pajak disimpan di kantor kas lokal. Dari sana, kemudian dialihkan ke kantor pusat di Kordova yang mengawasi seluruh kantor kas daerah dan menutupi kekurangan pada provinsi lain yang mengalami defisit.
                        Pajak-pajak juga dikumpulkan dari mustakhlas (tanah kerajaan) yang diserahkan langsung ke bait al-mal al-khas (kas kerajaan) untuk biaya pribadi raja. Pajak-pajak tanah kerajaan dikumpulkan di provinsi yang memiliki tanah sitaan dari para bangsawan sepanjang masa. Kepala administrasi kekayaan keraajan disebut rahib al-diya. Pendapatan tahunan dari tanah dan pasar ini sendiri berjumlah 765.000 dinar pada periode abdurrahman III. Sejumlah penguasa menetapkan kebijakan tertentu bagi para pembayar pajak yang mengalami musibah. Abdurrahman III saat berkuasa menghapuskan pajak-pajak illegal. Hakam II mengurangi pajak militer dan pajak-pajak yang tidak biasa tahun 1-6 pada tahun 975 M.
                        Paparan di atas bukan merupakan struktur administrasi pajak yang meliputi berbagai elemen yang disampaikan Ibnu Hazm, tetapi merupakan berbagai cara pengumpulan pajak tertentu yang pada saat itu berjalan meskipun keadilan bagi pemabayar pajak tidak diperoleh saat membayar sejumlah pajak yang ditentukan. Hal ini tidak adil dalam pandangan Ibnu Hazm. Ketiadaan etika dapat menghancurkan sistem administrasi dan struktur yang baik karena di akhir analisisnya ia menilai bahwa sistem ini masih dilaksanakan oleh orang yang tidak memiliki etika yang sesuai dengan sistem administrasi yang baik.
4.                  Koreksi Terhadap Pendapat yang Mengatakan bahwa Ibnu Hamz Cenderung pada Pemikiran Sosialis
                        Pengikut sosialis dan kapitalis selalu memberikan label pada para penganut idiologinya. Dalam hal ini, Ibnu Hazm oleh kelompok sosialis dianggap sebagai seorang sosialis muslim. Hal ini, perlu diluruskan. Akan tetapi terlebih dahulu dilihat berbagai alasan berikut sehingga Ibnu Hazm dianggap cenderung pada pemikiran sosialis:
1.                   Memperjuangkan kesejahteraan sosial
2.                   Menyertakan pajak pada orang kaya sehingga mereka berperan dalam upaya pengentasan kemiskinan
3.                   Mendukung adanya intervensi pemerintah terutama dalam persoalan pajak
4.                   Ibnu Hazm secara konsisten cenderung pada kepentingan sosialis meskipun dirinya berasal dari keluarga bangSawan dan ia sendiri pernah menjabat sebagi wazir selama tiga periode.
                        Sulit dibuktikan bahwa alasan utama mengapa Ibnu Hazm dikatakan sebagai seseorang sosialis berdasarkan empat alasan tersebut. Masing-masing alasan menempatkan Ibnu Hazm pada posisi mana kelas orang miskin dihadapkan secara berlawanan dengan orang kaya (adanya perbedaan kelas). Terlebih bagi, Ibnu Hazm dinyatakan mendukung adanya intervensi negara dalam penyelesaian suatu persoalan.






BAB II
PENUTUP
1.                  Kesimpulan
Ibnu Hazm, bernama lengkap Abu Muhammad Ali Ibn Abu Umar Ahmad Ibn Said Ibn hazm al-Qurthubi al Andalusi, lahir pada akhir bulan Ramadhan 184 H (994 M).
Ia berasal dari sebuah keluarga bangsawan dan kaya. Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang keturunan Persia dan wazir administrasi pada masa pemerintahan Hajib al-Mansur Abu Amir Muhammad bin AbuAmir al-Qanthani (w. 192 H) dan Hajib Abdul Malik al-Mudzaffar (w. 399 H/1009 M).
            Sejak ibunya wafat , Ibnu Hazm kecil tinggal di istana dengan para pengasuh yang terdiri dari para wanita terpelajar. Mereka mengajarkan baca tulis, membaca dan memahami maksud al-Qur’an serta berbagai syair Arab. Setelah itu, Ibnu Hazm diserahkan kepada Abu Ali al-Husein bin Ali al-Fasi, seorang ulama yang mengesankan hatinya, baik dari segi ilmu, amaliah, maupun kewara’-annya. Ia belajar hadis untuk pertama kalinya kepada Amir al-Jasur ketika berusia 16 tahun.Ibnu Hazm mempelajari ilmu dari ulama lainnya, baik selama ia menetap di Kordova maupun selama pengembaraannya diberbagai kota hingga Maroko.
Ia menyerap berbagai ilmu agama dan umum, seperti tafsir dan hadis, fiqih, ushul fiqh, teologi,perbandingan agama, bahasa, sastra, sejarah, dan filsafat. Keberhasilan Ibnu Hazm tidak terlepas dari arahan orang tuanya yang menyukai ilmu pengetahuan, disamping ketekunan dan kesungguhan diri serta kecerdasan yang luar biasa.
Dalam ketidakpastian politik, Ibnu Hazm mengikuti jejak ayahnya sebagai wazir sebagai tiga periode, yakni pada masa Khalifah Abdurrahman IV al-Murtadha yang menjadi pembantu Umayyah, pada masa Abdurrahman V al-Mustanshir, dan pada masa Hisyam al-Mu’tad.Sepanjang hayatnya, Ibnu Hazm tidak hanya terlibat dalam pekerjaan administrasi negara. Setelah situasi cukup aman, ia mulai mengembangkan karirnya sebagai pengajar dan penulis hingga akhir hidupnya.Ibnu Hazm wafat di desa Manta Lisham, dekat Sevilla.
Tumbangnya Dinasti Umayyah dan kegagalan di bidang politik tersebut menyadarkannya untuk kembali menekuni dunia keilmuan secara lebih serius dan intensif hingga membawanya ke puncak keilmuan dan mengukirkan diri dalam sejarah perkembangan intelektual Islam. Pada awalnya, Ibnu Hazm menganut mazhab Maliki yang ketika itu merupakan mazhab mayoritas dikawasan Andalusia dan Maghribi pada umumnya.
Dalam Perkembangan selanjutnya, Ibnu Hazm beralih ke mazhab Syafi’i. Perpindahan ini agaknya merupakan bagian dari proses pembentukan dan masa transisi kearah pencarian, pematangan diri, dan kemandirian pemikirannya. Perpindahan tersebut memperlihatkan ketidak puasannya terhadap mazhab Maliki, sikap ulama dan masyarakat dalam bertaklid kepada mazhab ini secara fanatik. Kecenderungan Ibnu Hazm terhadap mazhab Zhahiri tampaknya terkait erat dengan fenomena sosial politik dan keagamaan di Andalusia pada masa hidupnya. Krisis politik yang berkepanjangan mengakibatkan runtuhnya kekhalifahan. Penyelewengan dan kezaliman al-Muluk al-Thawaif  berakar pada ketidak tegasan pelaksanaan syariat Islam, bahkan cenderung meninggalkannya. Sebagai fuqaha mazhab Maliki di Andalusia yang memegang jabatan qadi menjadi kurang responsif, oportunistik, tunduk pada kemauan politik, dan kebijakan hukum penguasa, meskipun jelas-jelas menyimpang dari syariat. Mereka tidak lagi menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar dalam rangka mengontrol pengusaha dan berbagai kekuatan sosial yang bersaing tidak sehat.
Mereka tampil dalam posisi yang lemah dan defensif dalam menghadapi kebijakan pemerintah dan kekuatan yang lebih dominan yang terkait dengan syariat serta berlindung di balik penggunaan ra’yi dalam rangka mengamankan diri dari tekanan kezaliman penguasa yang menyeleweng itu.
            Situasi Andalusia yang dipegang oleh para penguasa yang tidak cakap da lemah mengundang kehadiran berbagai pihak lain yang bersaing dalam menanamkan pengaruh untuk memperoleh legitimasi dalam memegang tampuk kekuasaan politik yang sebenarnya.
Akibatknya, Khalifah hanya menjadi simbol yang tidak berperan secara signifikan. Disamping itu, muncul intervensi kekuatan non-muslim yang mengulurkan bantuan kekuatan kepada pihak yang dianggap menginginkan bantuan tersebut. Bantuan tersebut sudah tentu disertai persyaratan dan konsesi tertentu yang merugikan kaum muslimin. Kerjasama ini dinilai Ibnu Hazm bertentangan dengan syariat Islam karena secara politis memberi peluang kepada musuh untuk meruntuhkan Islam. Selanjutnya, muncul al-Muluk al-Thawaif yang mempergunakan gelar Amirul Mukminin dan gelar lainnya hanya layak bagi khalifah.Fuqaha Maliki tersebut cenderung bersikap toleran terhadap penyimpangan mereka bahkan bersikap diam ketika salah seorang dari mereka mengklaim dirinya sebagai khalifah keturunan Bani Umayyah yang sebenarnya hanya seorang berkulit hitam yang berasal dari Afrika.
            Kondisi sosial dan politik yang sedemikian parah telah menempatkan qiyas dan istihsan sebagai alat bagi timbulnya kolusi antara sebagian fuqaha dengan penguasa dalam memberikan berbagai fatwa hukum yang berkaitan dengan realitas kehidupan yang rusak.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, Ibnu Hazm memilih jalur untuk mengkaji hukum Islam mulai dari awal dengan kebebasan berijtihad dan menola taklid. Menurutnya, ijtihad adalah kembali kepada al-Qur’an dan hadis.Akibat sikapnya yang melawan arus itu, banyak diantara para fuqaha Maliki yang membenci dan memusuhi Ibnu Hazm.
Sosok Ibnu Hazm adalah seorang pemikir besar yang berasal dari suku Arab muslim. Ia telah membuktikan dirinya sebagai sumber literatur, sejarahwan, filolog, retorik, qadi, filosuf, dan teolog. Ia mampu menangkap dengtan cepat seluruh informasi mutakhir yang membuatnya produktif, meluaskan pengajaran, menyebarkan bahasa Arab, dan menyiapkan perangkat yang mendasari ilmu pengetahuan.


2.                  Saran dan Kritik
Dalam makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanya milik ALLAH, untuk itu kami selaku penulis mengharap saran dan kritik yang membangun demi perbaikan makalah selanjutnya.






                                                                                                                                                                


[1] biografi-dan-pemikiran-ibn-hazm-dan.html
[2] ibn-hazm-ulama-brilian-dari-spanyol.html/di akses tanggal 20 September 2012
[3] Prof. Dr. azymardi Azra. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.  Depok : Gramata publishing. 2010. Hlm, 182
[4] pemikiran-ekonomi-ibnu-hazm-994-1064-m.html/di akses tanggal 20 September 2012
[5] Ibid. Hlm, 183
[6] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo. 2010. Hlm, 108
[7] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo. 2010. Hlm, 94
[8] QS. Surah Al Isra’ 17:26
[9] pemikiran-ekonomi-al-mawardi-ibn-hazm.html/di akses tanggal 20 September 2012

Tiada ulasan:

Catat Ulasan