Isnin, 30 Disember 2013

Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional



A.                Pendahuluan
Ekonomi merupakan kegiatan sosial masyarakat. Dalam perkembangannya kegiatan Ekonomi mengalami perubahan-perubahan dari jaman dahulu sampai sekarang. Salah satu perubahan yang muncul sebuah istilah ekonomi syariah dan ekonomi konvensional. Kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang cukup substansif. Ekonomi konvensional merupakan sistem yang berlaku secara umum dilakukan oleh masyarakat didunia sedangkan ekonomi syariah merupakan system ekonomi yang berlandsaskan prinsip-prinsip syariah.

Ekonomi konvensional yang berlaku sekarang tidak lepas unsur-unsur ketidakjelasan yang merugikan salah satu pihak, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Seseorang memperoleh kemakmuran diatas kesengsaran orang lain. Moral dan etika yang dipakai adalah semata-mata bagaimana mendapatkan keuntungan pribadi. Ketidakmampuan dalam mengelola ekspektasi tindakan-tindakan yang akan diambil spekulan mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi. Untuk mengendalikan aksi spekulan dan mengatasi krisis, perlu orang-orang yang memahami cara bekerja sistem ekonomi pasar yang ada. Ketersediaan orang tersebut merupakan necessary condition. Ini amat penting untuk mencegah krisis ekonomi yang bekepanjangan.
Melakukan kegiatan ekonomi adalah merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kegiatan itu ia memperoleh rizki, dan dengan rizki ia dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi orang Islam, Al Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhn hidupnya yang berkebenaran absolute. Sunnah Rasulullah Muhammad SAW berfungsi menjelaskan kandungan Al Qur’an. Terdapat banyak ayat Al Qur’an dan hadits Nabi yang merangsang manusia untuk rajin bekerja dan mencela orang menjadi pemalas. Tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi dibenarkan oleh Al Qur’an. Apabila kegiatan itu punya watak yang merugikan banyak orang dan menguntungkan sebagian kecil orang pasti akan ditolak seperti halnya riba.
Al Qur’an telah jelas melarang riba[1]. Selain itu juga agama –agama lainpun melarangnya, bukan hanya etika agama yang mengutuknya, tetapi juga etika filosofis, seperti filsafat yunani. Dengan demikian, disamping diketahui bahwa al Qur’an tidak sendirian dalam menampilkn sikap kerasnya terhadap riba.
Salah satu lembaga perekonomian yang sampai saat ini menggunakan system riba ialah bank. Menurut catatan sejarah, usia perbankan sudah dikenal kurang lebih 2500 SM dalam masyarakat Mesir Purba dan Yunani Kuno, kemudian masyarakat Romawi. Istilah perbankan dalam masyarakat modern pada umumnya disebut dengan bank konvesional. Bank konvensional melaksanakan pembagian keuntungan dengan system bunga (persentase) tetap. Bank tidak mau melihat, apakah wiraswastawan peminjam mendapat kerugian atau laba. Hal ini membuat sekelompok orang islam untuk mendirikan bank islam dengan ciri tanpa bunga yang disebut dengan bank syari’ah,. Seperti apakah perbedaan bank syariah dan bank konvensional itu? Berikut akan diulas dalam bab ini

B.                 Pengertian Bank Konvensional dan Bank Syariah
1.      Bank Konvensional
Konvensional sebenarnya berasal dari bahasa Inggris “convention”, dalam bahasa Indonesia berarti pertemuan, jadi bank konvensional adalah bank yang mekanisme operasinya berdasarkan sistem yang disepakati bersama dalam suatu pertemuan (kesepakatan). Namun secara realita, sistem perbankan yang menggunakan bunga ini tidak pernah disepakati bersama dalam suatu konvensi apapun.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan bunga yang di ambil oleh Bank konvensional menjadi riba, sedangkan riba dalam sistem ekonomi Islam adalah sesuatu yang diharamkan, karena mengambil sesuatu yang bukan hak milik demi mendapatkan keuntungan sama saja dengan mencuri. Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.Di Indonesia, menurut jenisnya bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[2]
2.      Bank syariah
            Bank syariah adalah suatu bank yang dalam aktivitasnya; baik dalam penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah.
            Pada dasarnya ketiga fungsi utama perbankan (menerima titipan dana, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang) adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsi perbankan melakukan hal – hal yang dilarang syariah. Dalam praktik perbankan konvesional yang dikenal saat ini, fungsi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip bunga. Bank konvensional memang tidak serta merta identik dengan riba, namun kebanyakan praktik bank konvensional dapat digolonglan sebagai transaksi ribawi.[3]
Antonio dan perwataadmadja membedakannya menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syariat Islam.[4] Bank Syari’ah adalah
1)        Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam
2)        Bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentun Al qur’an dan Hadits
Sementara Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syari’ah Islam adalah Bank yang dalam operasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah  secara Islam. Dikatakan lebih lanjut, dalam tata cara bermuamalah itu harus dijahui oleh hal-hal dan praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsure riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.[5]

C.                 Akad dan aspek legalitas
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam.
Secara bahasa, akad atau perjanjian itu digunakan untuk banyak arti, yang keseluruhannya kembali kepada bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua hal. Sementara akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan sesuatu yang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan.
1.      Akad-Akad dalam Bank Syariah
a)      Antara Wa’ad dengan Akad
Fiqih Muamalah Islam  membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) anara satu pihak kepada pihak lainnya. Sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak.Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang yang memberi janji berkewajiban  untuk melaksanakn kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lain.
b)     Antara Tabarru’ dengan tijarah
1)      Akad Tabarru’
Akad Tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non-for frofit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersial. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolonga dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru berasal dari kata birr dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru adalah dari Allah Swt., bukan dari manusia namun demekian pihak pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkan untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahan,hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqaf, shadaqah, hadiah, dan lain-lain.[6]
Ada tiga macam bentuk umum akad Tabarru’, yakni:
ü  Meminjamkan harta (uang)
Akad meminjamkan uang ini ada beberapa lagi jenisnya, setidaknya ada tiga jenis, yakni sebagai berikut. Bila pinjaman ini diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain mengnembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu maka bentuk meminjamkan uang seperti ini disebut dengan Qard
Selanjutnya, jika dalam meminjamkan uang ini si pemberi pinjaman mensyartakan suatu jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu, maka bentuk pemberian pinjaman seperti ini disebut dengan rahn
Ada lagi suatu bentuk pemberian pinjaman uang, diman tujuannya adalah untuk mengambil alih piutang dari pihak lain. Bentuk pemberian pinjaman uang denagn maksud seperti ini disebut hiwalah
ü  Meminjamkan jasa
Seperti akad meminjamkan uang, akad meminjamkan jasa juga terbagi menjadi tiga jenis. Bila kita meminjamkan ‘diri kita’ (yakni, jasa keahlian atau keterampilan, dan sebagainya) saat ini untuk melakuakn sesuatu atas nama orang lain, mak hal ini diberi nam wakalah.
Selanjutnya, bila akad wakalah ini kita rinci tugasnya, yakni bila kita menawarkan jasa kita untuk menjadi wakil seseorang, dengan tugas menyediakan jasa custody (penitipan, pemeliharaan), bentuk peminjaman jasa seperti ini disebut dengan akad wadi’ah.
Ada variasi lain dari akad Wakalah,yakni contingent wakalah ( wakalah bersyarat). Dalam hal ini, maka kita bersedia memberikan jasa kita untuk melakuakan sesuatau atas nama orangn lain, jika terpenuhi kondisinya, atau jika ssuatu terjadi.Wakalah bersyarat ini dsalam terminologi fiqih disebut sebagai akad kafalah.
ü  Memberikan sesuatu
Yang termasuk kedalam golongan ini adalah akad-akad sebagai berikut: hibah,wakaf, shadaqah, hadiah dan lain-lain. Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku memberiakn sesuatu kepada orang alin. Bila penggunanya untuk kepentingan umum dan agam. Akadnyana dinamakan Wakaf . obyek wakaf ini tidak boleh diperjaulbelikan begitu dinyatakan sebagai aset wakaf . Sedangkan hibah dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.[7]
2)      Akad Tijarah
Akad tijarah/muaawadah (compensational contrac) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakuakn dengan tujuan mencari keuntungan karena itu bersifat komersial. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual beli, sewa-menyewa. Dan lain-lain.[8]
2.      Rukun Akad
a. Penjual
b.Pembeli
c. Barang
d. Harga
e. Akad/ijab-qabul


3.      Syarat – Syarat Akad
  1. Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
  2. Harga barang dan jasa harus jelas.
  3. Tempat penyerahan (delivey) harus jelas karena akan berdampak pada biyaya transportasi.
  4. Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi Short sale dalam pasar modal.[9]
D.                Lembaga Penyelesai sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan  negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah.
Seperti diketahui selama ini, jika terjadi sengketa atau perselisihan antara pihak bank syariah dengan nasabahnya, maka alternatif penyelesaiannya adalah Badan Arbitrase yang menerapkan hukum materiil Islam, dalam hal ini Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atau peradilan umum sesuai dengan Undang-undang No. 2 Tahun 1986. Namun sekarang, setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, jika terjadi sengketa perbankan syariah, maka alternatif penyelesaiannya disamping BASYARNAS tersebut, juga Peradilan Agama selaku institusi yang berwenang untuk itu. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 49 berikut penjelasannya pada huruf (i) UU Perdilan Agama tersebut dan Pasal 55 Ayat (1) UU Perbankan Syariah.[10]
Dengan demikian, berbeda dengan bank konvensional, yang lembaga penyelesaian sengketanya adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Peradilan Umum.


E.                 Struktur Organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antar bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawasan Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.

1)      Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah.
Dewan Pengawasan Syariah harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bang yang diwarisinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini dimuat dalam laporan tahunan (annual report) bank bersangkutan.
Tugas lain Dewan Pengawasan Syariah adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru yang diawasinya. Dengan demikian, dewan pengawasan syariah bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.[11]
Pasal 27 PBI No. 6/24/PBI/2004 menguraikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab DPS, Yaitu antara lain meliputi:
  1. Mematikan dan mengnawasi kesesuaina kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang oleh DSN.
  2. Menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan bank;
  3. Memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan terhadap operasional bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank;
  4. Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwakepada DSN;
  5. Mennyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap 6 (enam)bulan kepada direksi, komisaris, Dewan Syariah Nasional, dan Bank Indonesia.
Fungsi utama DPS Adalah:
  1. Sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah, dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait denagn aspek syariah.
  2. Sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN dalam komunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerluakn kajian dan fatwa dari DSN.
Sedangkan kewajiban DPS adalah:
  1. Mengikuti fatwa DSN
  2. Mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar tidak menyimpang dari ketentuan dan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN.
  3. Melaporkan kegiatan usaha dan perkembangan lembaga keuangan yang diawasinya secara rutin kepada DSN, sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun. [12]
2)      Dewan Syariah Nasional (DSN)
Pengertian Dewan Syariah Nasional:
            Dewan Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh MUI Untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan aktivitas lembaga keuangan syariah. Dewan Syariah Nasional adalah badan yang ada dilembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi melaksanakan keputusan Dewan Syariah Nasional dilembaga keuangan syariah.[13]
            Adapun Dewan Syariah Nasional (DSN) menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (9) PBI adalah dewan yang dibentuk oleh majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah.[14]
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997dan merupakan hasil rekomendasi lokakarya  reksadana Syariah pada bulan juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom dibawah majelis ulama  indonesia dipimpin oleh ketua umum majelis ulama Indonesia dan seretaris (ex-officio)
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan Syariah agar sesuai dengan syariat Islam. Dewan ini bukan  hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya untuk keperluan pengawasan tersebut, dewan syariah nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawasan Syariah pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya.
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawasn Syariah pada lembaga yang bersangkuatn.[15]
Menurut keputusan DSN No. 01 Tahun 2000 tentang pedoman Dasar Dewan Majelis Ulama Indonesia. DSN bertugas sebagai beriakut:
  1. Menumbuhkembangkan penerapan nilai-niali syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan khususnya
  2. Mengelurkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan
  3. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah
  4. Mengnawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan
DSN Berwenang sebagai berikut:
  1. Mengeluarkan fatwa  yang mengikat DPS di masing-masing lembaga keuangan Syariah (LKS) dan menjadi dasar tindakan hukum terkait
  2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia
  3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai DPS pada suatu LKS
  4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperluakn dalam pemhasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri
  5. Memberiakn peringatan kepada LKS untuk menghentikan penyimpanan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN
  6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.[16]
Kedudukan, Status, dan Anggota Dewan Syariah Nasional
  1. Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia
  2. Dewan Syariah Nasional membantu pihak terkait, seperti Departemen keuangan, Bank Indonesia  dan lain-lain dalam menyusun peraturan, ketentuan untuk lembaga keuangan syariah
  3. Anggota Dewan Syariah Nasional terdiri dari para ulama, praktisi, dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan Muamalah Syariah.
  4. Anggota Dewan Syariah Nasional ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 (tahun) tahun.[17]
Pembiayaan Dewan Syariah Nasional
  1. Dewan Syariah Nasional memperoleh dana operasional dari bantuan pemerintah Departemen keuangan (DEPKEU), Bank Indonesia,dan sumabangan masyarakat
  2. Dewan Syariah Nasional meneriam dana iuran bulanan dari setiap lembaga keuangan syariah yang ada
  3. Dewan Syariah Nasional mempertanggaungjawabkan keuangan atau sumbangan tersebut kepada majellis Ulama Indonesia
Untuk Memperkuat posisi Dewan Syariah Nasional sebagai lembaga yang mengurusi sistem keuangan dalam Negara Republik Indonesia. Maka dibuatlah kesepahaman dalam bentuk MOU (Memorandum Of Understanding) antara  Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memilki oteritas dalam bidang keagaman ( Islam) Dan Bank Indonesia ( BI) sebagai lembaga sentral yang menangani sistem keuanngan di Indonesia. Dalam MOU tersebut, Bank Indonesia menempatkan  DSN-MUI menjadi sangat strategi dan sentral dalam pengembangan ekonomi syariah dinegeri ini.
F.                 Bisnis dan Usaha yang di Biayai
Dalam bank syariah, bisnis dan dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan.[18]
Dalam Bank Syariah suatu pembiayaan tidak mungkin disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok diantaranya:
  1. Apakah obyek pebiayaan halal atau haram?
  2. Apakah proyek menimbulkan kemudharatan bagi Masyarakat?
  3. Apakah Proyek Berkaitan dengan pembuatan Mesum/asusila?
  4. Apakah Proyek dapat merugikan syiar Islam atau tidak?[19]
G.                Lingkungan Kerja Dan Corporate Culture
Bank Syariah selayak nya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Disamping itu, karyawan bank syariah harus skillful dan  professional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team-work dimana informasi merata diseluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
Selain itu cara berpakain dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cermin bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkahlaku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga.
Perbedaan Bunga dan Bagi hasil
NO
Bunga
Bagi Hasil
1
Penentuan bunga dibuat sewaktu perjanjian tanpa berdasarkan kepada untung/rugi.
Penentuan bagi hasil dibuat sewaktu perjanjian dengan berdasarkan kepada untung/rugi.
2
Jumlah persen bunga berdasarkan jumlah uang (modal) yang ada.
Jumlah nisbah bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang telah dicapai.
3
Pembayaran bunga tetap seperti perjanjian tanpa diambil pertimbangan apakah proyek yang dilaksanakan pihak kedua untung atau rugi
Bagi hasil tergantung pada hasil proyek. Jika proyek tidak mendapat keuntungan atau mengalami kerugian, maka resikonya ditanggung kedua belah pihak.
4
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat walaupun jumlah keuntungan berlipat ganda.
Jumlah pemberian hasil keuntungan meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan yang didapat.
5
Pengambilan/pembayaran bunga adalah haram.
Penerimaan/pembagian keuntungan adalah halal.
Bank asyari’ah memiliki beberapa ciri atau karakteristik tersendiri yang antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Berdimensi keadilan dan pemerataan
  2. Adanya pemberlakuan jaminan
  3. Menciptakan rasa kebersamaan
  4. Bersifat Mandiri
  5. Persaingan secara sehat
  6. Adanya Dewan Pengawasan Syariah.[20]


H.                Kesimpulan
Setiap lembaga keuangan syari’ah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah SWT untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat . Oleh karena itu , setiap kegiatan lembaga keuangan yang di khawatirkan menyimpang dari tuntutan agama , harus di hindari.[21]
a)      Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya:
«  Menghindari penggunaan system yang menetapkan di muka secara pasti keberhasilan suatu usaha (QS. Luqman, ayat: 34)
«  Menghindari penggunaan system prosentasi untuk pembebanan biyayaa terhadap hutang atau pemberian imbalan terhdap simpanan yang mengandung unsure meliputi gandakan secara otomatis hutang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Al Imron: 130)
«  Menghindari penggunaan system perdagangan atau penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba No.1551 s.d 1567)
«  Menghindari penggunaan system yang menetapkan di muka tambahan atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR. Muslim, Bab Riba No.1569 s.d 1572)
b)      Menetapkan system bagi hasil dan perdagangan,
Dengan mengacu pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275 dan An Nisa’ ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas dasar system bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan mu’amalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi.[22]

No
Perbedaan Aspek
Bank Islam
Bank Konvensional
1
Falsafah
Tidak berdasarkan atas bunga, spekulasi dan ketidakjelasan
Berdasarkan atas bunga
2
Operasional
- Dana masyarakat berupa titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil juka diusahakan terlebih dahulu
- Penyaluran pada sektor usaha yang halal dan menguntungkan
- Dana masyarakat berupa simpanan yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo
- Penyaluran pada sektor yang menguntungkan, aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama
3
Sosial
Dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam Visi & Misi perusahaan
Tidak tersirat secara tegas
4
Organisasi
Harus memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah.
I.                   Saran-saran
Setelah kita semua mengetahui apa itu perbedaan bank syariah dan bank konvensional, diharapkan agar kita lebih memilih menggunakan jasa bank syari’ah dan alangkah baiknya pula, yang sudah menggunakan bank konvensional pindah ke bank syari’ah





DAFTAR PUSTAKA
Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafi’I Antonio, 1997.  Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf..
M. Nadratuzzaman Hosen. Dkk. Materi Dakwah Ekonomi Syariah. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES): Jakarta.
Muhammad Syafi’I Antonio, 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani: Jakarta.
Cik Basir, SH., Mhi., 2009.  Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Kencana: Jakarta.
Wirdiyaningsih, SH. MH. Dkk., 2005.  Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia. Kencana: Jakarta.
Dr.Muhamad Firdaus, 2005 . Fatwa-fatwa Ekonomi Syariah Kontemporer. Renaisan: Jakarta.
Drs.M. Zaidi Abdan, M.Ag., 2003.  Lembaga Perekonomian Ummat Di Dunia Islam. Angkasa: Bandung.
Prof.H. A.Djazuli. Dan Drs. Yadi Janwari,M.ag., 2002.  Lembaga-lembaga Perekonomian Umat. PT Raja Grapindo Persada: Jakarta.
Muhammad, 2000. Lembaga Keuangan umat kontemporer. UII Press: Yogyakarta.
Muhammad, 2005. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. BPFE-Yogyakarta: Yogyakarta.


[1] Riba dalam Ilmu Fiqih ada dua macam: 1). Riba yang disebabkan oleh jual beli, disebut riba fadl dan 2). Riba yang disebabkan oleh pinjam meminjam atau hutang piutang disebut riba nasi’ah. Riba yang dibicarakan dalam Al Qur’an adalah riba nasi’ah
[3] Ibid
[4] Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf. 1997. Hlm.1
[5] ibid
[6] http://eemhuzaimah.wordpress.com/2010/05/19/perbedaan-bank-syariah-dengan-bank-konvensional/
[7] M. Nadratuzzaman Hosen. Dkk. Materi Dakwah Ekonomi Syariah. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). Jakart. Hlm.87-89
[8] Ibid
[9] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani: Jakarta, 2001 Cet. Ke-1. Hlm.31
[10] Cik Basir, SH., Mhi. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Kencana: Jakarta. 2009, Hlm. 43
[11] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani: Jakarta, 2001 Cet. Ke-1. Hlm.31
[12] Wirdiyaningsih, SH. MH. Dkk. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia. Kencana: Jakarta.2005. Hlm. 83-85
[13] Dr.Muhamad Firdaus. Fatwa-fatwa Ekonomi Syariah Kontemporer. Renaisan: Jakarta, 2005 Cet. Ke-1. Hlm.22
[14] Cik Basir, SH., Mhi. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Kencana: Jakarta. 2009, Hlm. 55
[15] Muhammad Syafi’I Antonio. Ibid, Hlm.32
[16] Wirdiyaningsih, SH. MH. Dkk. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia. Kencana: Jakarta.2005. Hlm. 81
[17] Dr.Muhamad Firdaus. Fatwa-fatwa Ekonomi Syariah Kontemporer. Renaisan: Jakarta, 2005 Cet. Ke-1. Hlm.23
[18] Muhammad Syafi’I Antonio. Ibid. Hlm.33
[19] Drs.M. Zaidi Abdan, M.Ag. Lembaga Perekonomian Ummat Di Dunia Islam. Angkasa: Bandung, 2003 Cet. Pertama. Hlm.77
[20] Prof.H. A.Djazuli. Dan Drs. Yadi Janwari,M.ag . Lembaga-lembaga Perekonomian Umat. PT Raja Grapindo Persada: Jakarta,2002. Cetakan. Pertama.Hlm.55-60
[21] Muhammad, Lembaga Keuangan umat kontemporer. Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm.63
[22] Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2005, hlm16

Tiada ulasan:

Catat Ulasan