A.
Pendahuluan
Ekonomi merupakan kegiatan sosial
masyarakat. Dalam perkembangannya kegiatan Ekonomi mengalami
perubahan-perubahan dari jaman dahulu sampai sekarang. Salah satu perubahan
yang muncul sebuah istilah ekonomi syariah dan ekonomi konvensional. Kedua
istilah ini mempunyai perbedaan yang cukup substansif. Ekonomi konvensional
merupakan sistem yang berlaku secara umum dilakukan oleh masyarakat didunia
sedangkan ekonomi syariah merupakan system ekonomi yang berlandsaskan
prinsip-prinsip syariah.
Ekonomi
konvensional yang berlaku sekarang tidak lepas unsur-unsur ketidakjelasan yang
merugikan salah satu pihak, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Seseorang memperoleh kemakmuran diatas kesengsaran orang lain. Moral dan etika
yang dipakai adalah semata-mata bagaimana mendapatkan keuntungan pribadi.
Ketidakmampuan dalam mengelola ekspektasi tindakan-tindakan yang akan diambil
spekulan mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi. Untuk mengendalikan aksi
spekulan dan mengatasi krisis, perlu orang-orang yang memahami cara bekerja
sistem ekonomi pasar yang ada. Ketersediaan orang tersebut merupakan necessary
condition. Ini amat penting untuk mencegah krisis ekonomi yang bekepanjangan.
Melakukan
kegiatan ekonomi adalah merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dengan kegiatan itu ia memperoleh rizki, dan dengan rizki ia dapat
melangsungkan kehidupannya. Bagi orang Islam, Al Qur’an adalah petunjuk untuk
memenuhi kebutuhn hidupnya yang berkebenaran absolute. Sunnah Rasulullah
Muhammad SAW berfungsi menjelaskan kandungan Al Qur’an. Terdapat banyak ayat Al
Qur’an dan hadits Nabi yang merangsang manusia untuk rajin bekerja dan mencela
orang menjadi pemalas. Tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi dibenarkan oleh Al
Qur’an. Apabila kegiatan itu punya watak yang merugikan banyak orang dan
menguntungkan sebagian kecil orang pasti akan ditolak seperti halnya riba.
Al Qur’an
telah jelas melarang riba[1].
Selain itu juga agama –agama lainpun melarangnya, bukan hanya etika agama yang
mengutuknya, tetapi juga etika filosofis, seperti filsafat yunani. Dengan
demikian, disamping diketahui bahwa al Qur’an tidak sendirian dalam menampilkn
sikap kerasnya terhadap riba.
Salah satu
lembaga perekonomian yang sampai saat ini menggunakan system riba ialah bank.
Menurut catatan sejarah, usia perbankan sudah dikenal kurang lebih 2500 SM dalam
masyarakat Mesir Purba dan Yunani Kuno, kemudian masyarakat Romawi. Istilah
perbankan dalam masyarakat modern pada umumnya disebut dengan bank konvesional.
Bank konvensional melaksanakan pembagian keuntungan dengan system bunga
(persentase) tetap. Bank tidak mau melihat, apakah wiraswastawan peminjam
mendapat kerugian atau laba. Hal ini membuat sekelompok orang islam untuk
mendirikan bank islam dengan ciri tanpa bunga yang disebut dengan bank
syari’ah,. Seperti apakah perbedaan bank syariah dan bank konvensional itu? Berikut
akan diulas dalam bab ini
B.
Pengertian Bank Konvensional dan Bank Syariah
1.
Bank Konvensional
Konvensional sebenarnya
berasal dari bahasa Inggris “convention”, dalam bahasa Indonesia berarti
pertemuan, jadi bank konvensional adalah bank yang mekanisme operasinya
berdasarkan sistem yang disepakati bersama dalam suatu pertemuan (kesepakatan).
Namun secara realita, sistem perbankan yang menggunakan bunga ini tidak pernah
disepakati bersama dalam suatu konvensi apapun.
Hal
inilah yang kemudian menyebabkan bunga yang di ambil oleh Bank konvensional
menjadi riba, sedangkan riba dalam sistem ekonomi Islam adalah sesuatu yang
diharamkan, karena mengambil sesuatu yang bukan hak milik demi mendapatkan
keuntungan sama saja dengan mencuri. Pengertian
bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.Di Indonesia, menurut jenisnya bank
terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Dalam Pasal 1 ayat 3
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa bank umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[2]
2.
Bank syariah
Bank
syariah adalah suatu bank yang dalam aktivitasnya; baik dalam penghimpunan dana
maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas
dasar prinsip syariah.
Pada
dasarnya ketiga fungsi utama perbankan (menerima titipan dana, meminjamkan
uang, dan jasa pengiriman uang) adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam
melaksanakan fungsi perbankan melakukan hal – hal yang dilarang syariah. Dalam praktik perbankan konvesional yang dikenal saat ini, fungsi tersebut
dilakukan berdasarkan prinsip bunga. Bank konvensional memang tidak serta merta
identik dengan riba, namun kebanyakan praktik bank konvensional dapat digolonglan sebagai transaksi ribawi.[3]
Antonio dan perwataadmadja
membedakannya menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi
dengan prinsip syariat Islam.[4] Bank
Syari’ah adalah
1)
Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam
2)
Bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentun Al qur’an
dan Hadits
Sementara
Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syari’ah Islam adalah Bank yang
dalam operasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya
yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Dikatakan lebih
lanjut, dalam tata cara bermuamalah itu harus dijahui oleh hal-hal dan
praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsure riba untuk diisi dengan
kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.[5]
C.
Akad dan aspek legalitas
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki
konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum
islam.
Secara bahasa, akad atau perjanjian itu digunakan untuk
banyak arti, yang keseluruhannya kembali kepada bentuk ikatan atau penghubungan
terhadap dua hal. Sementara akad menurut istilah
adalah keterikatan keinginan diri dengan sesuatu yang lain dengan cara yang
memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan.
1. Akad-Akad dalam Bank Syariah
a) Antara Wa’ad dengan Akad
Fiqih
Muamalah Islam membedakan antara wa’ad
dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) anara satu pihak kepada
pihak lainnya. Sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak.Wa’ad hanya
mengikat satu pihak, yakni pihak yang yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakn kewajibannya. Sedangkan
pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lain.
b)
Antara Tabarru’ dengan
tijarah
1) Akad Tabarru’
Akad Tabarru’
(gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non-for
frofit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan
transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersial. Akad tabarru’ dilakukan
dengan tujuan tolong menolonga dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru berasal
dari kata birr dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’,
pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun
kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru adalah dari Allah Swt., bukan
dari manusia namun demekian pihak pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh
meminta kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover
the cost) yang dikeluarkan untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut.
Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh
akad-akad tabarru’ adalah qard, rahan,hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah,
hibah, waqaf, shadaqah, hadiah, dan lain-lain.[6]
Ada tiga
macam bentuk umum akad Tabarru’, yakni:
ü Meminjamkan harta (uang)
Akad
meminjamkan uang ini ada beberapa lagi jenisnya, setidaknya ada tiga jenis,
yakni sebagai berikut. Bila pinjaman ini diberikan tanpa mensyaratkan apapun,
selain mengnembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu maka
bentuk meminjamkan uang seperti ini disebut dengan Qard
Selanjutnya,
jika dalam meminjamkan uang ini si pemberi pinjaman mensyartakan suatu jaminan
dalam bentuk atau jumlah tertentu, maka bentuk pemberian pinjaman seperti ini
disebut dengan rahn
Ada lagi suatu
bentuk pemberian pinjaman uang, diman tujuannya adalah untuk mengambil alih
piutang dari pihak lain. Bentuk pemberian pinjaman uang denagn maksud seperti
ini disebut hiwalah
ü Meminjamkan
jasa
Seperti akad
meminjamkan uang, akad meminjamkan jasa juga terbagi menjadi tiga jenis. Bila
kita meminjamkan ‘diri kita’ (yakni, jasa keahlian atau keterampilan, dan
sebagainya) saat ini untuk melakuakn sesuatu atas nama orang lain, mak hal ini
diberi nam wakalah.
Selanjutnya,
bila akad wakalah ini kita rinci tugasnya, yakni bila kita menawarkan
jasa kita untuk menjadi wakil seseorang, dengan tugas menyediakan jasa custody
(penitipan, pemeliharaan), bentuk peminjaman jasa seperti ini disebut dengan
akad wadi’ah.
Ada variasi
lain dari akad Wakalah,yakni contingent wakalah ( wakalah
bersyarat). Dalam hal ini, maka kita bersedia memberikan jasa kita untuk
melakuakan sesuatau atas nama orangn lain, jika terpenuhi kondisinya, atau jika
ssuatu terjadi.Wakalah bersyarat ini dsalam terminologi fiqih disebut sebagai akad
kafalah.
ü Memberikan
sesuatu
Yang termasuk
kedalam golongan ini adalah akad-akad sebagai berikut: hibah,wakaf, shadaqah,
hadiah dan lain-lain. Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku memberiakn
sesuatu kepada orang alin. Bila penggunanya untuk kepentingan umum dan agam.
Akadnyana dinamakan Wakaf
. obyek wakaf ini tidak boleh diperjaulbelikan begitu dinyatakan sebagai aset wakaf
. Sedangkan hibah
dan hadiah
adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.[7]
2) Akad Tijarah
Akad
tijarah/muaawadah (compensational contrac) adalah segala macam
perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini
dilakuakn dengan tujuan mencari keuntungan karena itu bersifat komersial.
Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual beli, sewa-menyewa. Dan
lain-lain.[8]
2.
Rukun Akad
a. Penjual
b.Pembeli
c. Barang
d. Harga
e.
Akad/ijab-qabul
3.
Syarat – Syarat Akad
- Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
- Harga barang dan jasa harus jelas.
- Tempat penyerahan (delivey) harus jelas karena akan berdampak pada biyaya transportasi.
- Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi Short sale dalam pasar modal.[9]
D.
Lembaga Penyelesai sengketa
Berbeda dengan
perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau
perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak
menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya
sesuai tata cara dan hukum materi syariah.
Seperti diketahui
selama ini, jika terjadi sengketa atau perselisihan antara pihak bank syariah
dengan nasabahnya, maka alternatif penyelesaiannya adalah Badan Arbitrase yang
menerapkan hukum materiil Islam, dalam hal ini Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) atau peradilan umum sesuai dengan Undang-undang No. 2 Tahun 1986.
Namun sekarang, setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, jika terjadi sengketa perbankan syariah, maka alternatif
penyelesaiannya disamping BASYARNAS tersebut, juga Peradilan Agama selaku
institusi yang berwenang untuk itu. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 49
berikut penjelasannya pada huruf (i) UU Perdilan Agama tersebut dan Pasal 55
Ayat (1) UU Perbankan Syariah.[10]
Dengan demikian,
berbeda dengan bank konvensional, yang lembaga penyelesaian sengketanya adalah
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Peradilan Umum.
E.
Struktur Organisasi
Bank syariah dapat
memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam komisaris
dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antar bank syariah dan bank
konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawasan Syariah yang bertugas
mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis
syariah.
1)
Dewan Pengawas Syariah
(DPS)
Peran utama para ulama dalam Dewan
Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar
selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah.
Dewan
Pengawasan Syariah harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap
tahun) bahwa bang yang diwarisinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan
syariah. Pernyataan ini dimuat dalam laporan tahunan (annual report)
bank bersangkutan.
Tugas lain
Dewan Pengawasan Syariah adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru
yang diawasinya. Dengan demikian, dewan pengawasan syariah bertindak sebagai
penyaring pertama sebelum suatu produk diteliti kembali dan difatwakan oleh
Dewan Syariah Nasional.[11]
Pasal 27 PBI
No. 6/24/PBI/2004 menguraikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab DPS, Yaitu
antara lain meliputi:
- Mematikan dan mengnawasi kesesuaina kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang oleh DSN.
- Menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan bank;
- Memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan terhadap operasional bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank;
- Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwakepada DSN;
- Mennyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap 6 (enam)bulan kepada direksi, komisaris, Dewan Syariah Nasional, dan Bank Indonesia.
Fungsi utama
DPS Adalah:
- Sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah, dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait denagn aspek syariah.
- Sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN dalam komunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerluakn kajian dan fatwa dari DSN.
Sedangkan
kewajiban DPS adalah:
- Mengikuti fatwa DSN
- Mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar tidak menyimpang dari ketentuan dan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN.
- Melaporkan kegiatan usaha dan perkembangan lembaga keuangan yang diawasinya secara rutin kepada DSN, sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun. [12]
2)
Dewan Syariah Nasional
(DSN)
Pengertian
Dewan Syariah Nasional:
Dewan
Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh MUI Untuk menangani
masalah-masalah yang berhubungan aktivitas lembaga keuangan syariah. Dewan
Syariah Nasional adalah badan yang ada dilembaga keuangan syariah dan bertugas
mengawasi melaksanakan keputusan Dewan Syariah Nasional dilembaga keuangan
syariah.[13]
Adapun
Dewan Syariah Nasional (DSN) menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (9) PBI adalah
dewan yang dibentuk oleh majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas dan
memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam
kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
Syariah.[14]
Dewan Syariah
Nasional dibentuk pada tahun 1997dan merupakan hasil rekomendasi
lokakarya reksadana Syariah pada bulan juli tahun yang sama. Lembaga ini
merupakan lembaga otonom dibawah majelis ulama indonesia dipimpin oleh ketua umum majelis
ulama Indonesia dan seretaris (ex-officio)
Fungsi utama
Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan Syariah
agar sesuai dengan syariat Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga
lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya
untuk keperluan pengawasan tersebut, dewan syariah nasional membuat garis
panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum islam. Garis
panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawasan Syariah pada
lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan
produk-produknya.
Fungsi lain
dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi
produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk baru
tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan
Pengawasn Syariah pada lembaga yang bersangkuatn.[15]
Menurut keputusan DSN No. 01
Tahun 2000 tentang pedoman Dasar Dewan Majelis Ulama Indonesia. DSN bertugas
sebagai beriakut:
- Menumbuhkembangkan penerapan nilai-niali syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan khususnya
- Mengelurkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan
- Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah
- Mengnawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan
DSN Berwenang sebagai berikut:
- Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di masing-masing lembaga keuangan Syariah (LKS) dan menjadi dasar tindakan hukum terkait
- Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia
- Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai DPS pada suatu LKS
- Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperluakn dalam pemhasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri
- Memberiakn peringatan kepada LKS untuk menghentikan penyimpanan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN
- Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.[16]
Kedudukan, Status, dan Anggota
Dewan Syariah Nasional
- Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia
- Dewan Syariah Nasional membantu pihak terkait, seperti Departemen keuangan, Bank Indonesia dan lain-lain dalam menyusun peraturan, ketentuan untuk lembaga keuangan syariah
- Anggota Dewan Syariah Nasional terdiri dari para ulama, praktisi, dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan Muamalah Syariah.
- Anggota Dewan Syariah Nasional ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 (tahun) tahun.[17]
Pembiayaan Dewan Syariah
Nasional
- Dewan Syariah Nasional memperoleh dana operasional dari bantuan pemerintah Departemen keuangan (DEPKEU), Bank Indonesia,dan sumabangan masyarakat
- Dewan Syariah Nasional meneriam dana iuran bulanan dari setiap lembaga keuangan syariah yang ada
- Dewan Syariah Nasional mempertanggaungjawabkan keuangan atau sumbangan tersebut kepada majellis Ulama Indonesia
Untuk
Memperkuat posisi Dewan Syariah Nasional sebagai lembaga yang mengurusi sistem
keuangan dalam Negara Republik Indonesia. Maka dibuatlah kesepahaman dalam
bentuk MOU (Memorandum Of Understanding) antara Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang memilki oteritas dalam bidang keagaman ( Islam) Dan Bank Indonesia ( BI)
sebagai lembaga sentral yang menangani sistem keuanngan di Indonesia. Dalam MOU
tersebut, Bank Indonesia menempatkan DSN-MUI menjadi sangat strategi dan
sentral dalam pengembangan ekonomi syariah dinegeri ini.
F.
Bisnis dan Usaha yang di
Biayai
Dalam bank
syariah, bisnis dan dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan
syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang
terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan.[18]
Dalam Bank
Syariah suatu pembiayaan tidak mungkin disetujui sebelum dipastikan beberapa
hal pokok diantaranya:
- Apakah obyek pebiayaan halal atau haram?
- Apakah proyek menimbulkan kemudharatan bagi Masyarakat?
- Apakah Proyek Berkaitan dengan pembuatan Mesum/asusila?
- Apakah Proyek dapat merugikan syiar Islam atau tidak?[19]
G.
Lingkungan Kerja Dan
Corporate Culture
Bank Syariah
selayak nya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal
etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi
setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik.
Disamping itu, karyawan bank syariah harus skillful dan professional (fathanah), dan mampu
melakukan tugas secara team-work dimana informasi merata diseluruh
fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan
punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
Selain itu
cara berpakain dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cermin bahwa
mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam,
sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkahlaku yang kasar. Demikian pula
dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga.
Perbedaan
Bunga dan Bagi hasil
NO
|
Bunga
|
Bagi Hasil
|
1
|
Penentuan bunga dibuat sewaktu perjanjian tanpa
berdasarkan kepada untung/rugi.
|
Penentuan bagi hasil dibuat sewaktu perjanjian
dengan berdasarkan kepada untung/rugi.
|
2
|
Jumlah persen bunga berdasarkan jumlah uang (modal)
yang ada.
|
Jumlah nisbah bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan
yang telah dicapai.
|
3
|
Pembayaran bunga tetap seperti perjanjian tanpa
diambil pertimbangan apakah proyek yang dilaksanakan pihak kedua untung atau
rugi
|
Bagi hasil tergantung pada hasil proyek. Jika proyek
tidak mendapat keuntungan atau mengalami kerugian, maka resikonya ditanggung
kedua belah pihak.
|
4
|
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat walaupun
jumlah keuntungan berlipat ganda.
|
Jumlah pemberian hasil keuntungan meningkat sesuai
dengan peningkatan keuntungan yang didapat.
|
5
|
Pengambilan/pembayaran bunga adalah haram.
|
Penerimaan/pembagian keuntungan adalah halal.
|
Bank
asyari’ah memiliki beberapa ciri atau karakteristik tersendiri yang antara lain
adalah sebagai berikut:
- Berdimensi keadilan dan pemerataan
- Adanya pemberlakuan jaminan
- Menciptakan rasa kebersamaan
- Bersifat Mandiri
- Persaingan secara sehat
- Adanya Dewan Pengawasan Syariah.[20]
H.
Kesimpulan
Setiap lembaga
keuangan syari’ah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah SWT untuk
memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat . Oleh karena
itu , setiap kegiatan lembaga keuangan yang di khawatirkan menyimpang dari
tuntutan agama , harus di hindari.[21]
a)
Menjauhkan
diri dari unsur riba, caranya:
«
Menghindari
penggunaan system yang menetapkan di muka secara pasti keberhasilan suatu usaha
(QS. Luqman, ayat: 34)
«
Menghindari
penggunaan system prosentasi untuk pembebanan biyayaa terhadap hutang atau
pemberian imbalan terhdap simpanan yang mengandung unsure meliputi gandakan
secara otomatis hutang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Al
Imron: 130)
«
Menghindari
penggunaan system perdagangan atau penyewaan barang ribawi dengan imbalan
barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun
kualitas (HR. Muslim Bab Riba No.1551 s.d 1567)
«
Menghindari
penggunaan system yang menetapkan di muka tambahan atas hutang yang bukan atas
prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR. Muslim, Bab Riba No.1569
s.d 1572)
b)
Menetapkan
system bagi hasil dan perdagangan,
Dengan mengacu
pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275
dan An Nisa’ ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus
dilandasi atas dasar system bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya
didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada
kegiatan mu’amalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga
akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa,
dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi.[22]
No
|
Perbedaan Aspek
|
Bank Islam
|
Bank Konvensional
|
1
|
Falsafah
|
Tidak berdasarkan atas bunga, spekulasi dan
ketidakjelasan
|
Berdasarkan atas bunga
|
2
|
Operasional
|
- Dana masyarakat berupa titipan dan investasi yang
baru akan mendapatkan hasil juka diusahakan terlebih dahulu
- Penyaluran pada sektor usaha yang halal dan
menguntungkan
|
- Dana masyarakat berupa simpanan yang harus dibayar
bunganya pada saat jatuh tempo
- Penyaluran pada sektor yang menguntungkan, aspek
halal tidak menjadi pertimbangan utama
|
3
|
Sosial
|
Dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang tertuang
dalam Visi & Misi perusahaan
|
Tidak tersirat secara tegas
|
4
|
Organisasi
|
Harus memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).
|
Tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah.
|
I.
Saran-saran
Setelah kita
semua mengetahui apa itu perbedaan bank syariah dan bank konvensional, diharapkan
agar kita lebih memilih menggunakan jasa bank syari’ah dan alangkah baiknya
pula, yang sudah menggunakan bank konvensional pindah ke bank syari’ah
DAFTAR PUSTAKA
Karnaen
Perwataatmadja dan M. Syafi’I Antonio, 1997. Apa dan Bagaimana Bank
Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf..
M.
Nadratuzzaman Hosen. Dkk. Materi Dakwah Ekonomi Syariah. Pusat
Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES): Jakarta.
Muhammad
Syafi’I Antonio, 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik.
Gema Insani: Jakarta.
Cik Basir, SH., Mhi., 2009. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah.
Kencana: Jakarta.
Wirdiyaningsih,
SH. MH. Dkk., 2005. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia.
Kencana: Jakarta.
Dr.Muhamad
Firdaus, 2005 . Fatwa-fatwa Ekonomi Syariah Kontemporer. Renaisan:
Jakarta.
Drs.M.
Zaidi Abdan, M.Ag., 2003. Lembaga Perekonomian Ummat Di Dunia Islam. Angkasa: Bandung.
Prof.H.
A.Djazuli. Dan Drs. Yadi Janwari,M.ag.,
2002. Lembaga-lembaga
Perekonomian Umat. PT Raja Grapindo Persada: Jakarta.
Muhammad,
2000. Lembaga Keuangan umat
kontemporer. UII Press: Yogyakarta.
Muhammad,
2005. Konstruksi Mudharabah
dalam Bisnis Syari’ah. BPFE-Yogyakarta: Yogyakarta.
[1] Riba
dalam Ilmu Fiqih ada dua macam: 1). Riba yang disebabkan oleh jual beli,
disebut riba fadl dan 2). Riba yang disebabkan oleh pinjam meminjam atau
hutang piutang disebut riba nasi’ah. Riba yang dibicarakan dalam Al
Qur’an adalah riba nasi’ah
[4] Karnaen
Perwataatmadja dan M. Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam.
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf. 1997. Hlm.1
[6] http://eemhuzaimah.wordpress.com/2010/05/19/perbedaan-bank-syariah-dengan-bank-konvensional/
[7] M. Nadratuzzaman Hosen. Dkk. Materi Dakwah Ekonomi Syariah.
Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). Jakart. Hlm.87-89
[9] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik.
Gema Insani: Jakarta, 2001 Cet. Ke-1. Hlm.31
[11] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik.
Gema Insani: Jakarta, 2001 Cet. Ke-1. Hlm.31
[12] Wirdiyaningsih, SH. MH. Dkk. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia.
Kencana: Jakarta.2005. Hlm. 83-85
[13] Dr.Muhamad Firdaus. Fatwa-fatwa Ekonomi Syariah
Kontemporer. Renaisan: Jakarta, 2005 Cet. Ke-1. Hlm.22
[16] Wirdiyaningsih, SH. MH. Dkk. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia.
Kencana: Jakarta.2005. Hlm. 81
[17] Dr.Muhamad Firdaus. Fatwa-fatwa Ekonomi Syariah
Kontemporer. Renaisan: Jakarta, 2005 Cet. Ke-1. Hlm.23
[19] Drs.M. Zaidi Abdan, M.Ag. Lembaga Perekonomian Ummat Di Dunia
Islam. Angkasa: Bandung, 2003 Cet. Pertama. Hlm.77
[20] Prof.H. A.Djazuli. Dan Drs. Yadi Janwari,M.ag . Lembaga-lembaga
Perekonomian Umat. PT Raja Grapindo Persada: Jakarta,2002. Cetakan.
Pertama.Hlm.55-60
[22] Muhammad,
Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta, 2005, hlm16
Tiada ulasan:
Catat Ulasan