BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Ilmu hadits merupakan salah satu
pilar-pilar tsaqofah islam yang memang sudah selayaknya dimiliki oleh setiap
kaum muslim. Dewasa ini, begitu banyak opini umum yang berkembang yang
mengatakan bahwa ilmu hadits hanya cukup dipelajari oleh para salafus sholeh
yang memang benar-benar memilki kredibilitas dalam ilmu agama sehingga stigma
ini membuat sebagian kaum muslim merasa tidak harus untuk mempelajari ilmu
hadits.
Hal ini tentu sangat tidak dibenarkan karena dapat membuat masyarakat muslim menjadi kurang tsaqofah islamnya terutama dalam menjalankan sunnah-sunnah rosul. Terlebih dengan keadaan saat ini dimana sangat bayak beredar hadits-hadits dho’if dan hadits palsu yang beredar di tengah-tengah kaum uslim dan tentunya hal ini akan membuat kaum muslimin menjadi pelaku bid’ah. Jika kaum muslim masih memandang remeh tentang ilmu hadits ini maka tentu ini adalah suatu hal yang sangat berbahaya bagi aqidah kaumm muslimin dalam menjalankah sunnah rosul. Oleh karena itulah, perlunya kita sebagai umat muslim memilki pengetahuan yang luas tentang ilmu hadits.
Read More...>>
2.
Rumusan Masalah
2.1.
Bagaimana sebuah hadist bisa dikatakan Shahih ?
2.2.
Bagaimana sebuah hadist bisa dikatakan Hasan ?
2.3.
Bagaimana sebuah hadist bisa dikatakan Dhaif ?
3.
Tujuan Masalah
3.1.
Mengetahui hadist Shahih
3.2.
Mengetahui hadist Hasan
3.3.
Mengetahui hadist Dhaif
BAB II
PEMBAHASAN
1)
Hadist Shahih
a)
Pengetian
Secara bahasa (etimologi), kata الصحيخ (sehat) adalah antonim
dari kata السقيم
(sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya
(haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian
lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz). Secara istilah
(terminologi), maknanya adalah:
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)[1]
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)[1]
Definisi lain,
hadist shahih adalah
نَقَلَهُ عَدلٌ تَا مُّ الضَّبطِ مُتَّصِلُ
السَّنَدِغَيرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍمَا
Hadist yang dinukil (diriwayatkan)
oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersanbung, tidak
ber-‘illat dan tidak janggal[2]
Defisi hadis
shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan
tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
pertama, apabila
diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal
sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang diriwayatkan dengan baik,
mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafadnya; mampu
meriwayatkan hadis secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis
secara lafad, bunyi hadis yang Dia riwayatkan sama dengan hadis yang
diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian
riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai
kepada Nabi.
Imam Bukhori
dan Imam Muslim membuat kriteria hadis shahih sebagai berikut:
1)
Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama
sampai perowi terakhir.
2)
Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam
arti adil dan dhobith,
3)
Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
4)
Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.[3]
b)
Syarat-syarat Hadist Shahih
·
Rawi bersifat adil
Menurut Ar_Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk
selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menghindari kebiasaan
melakukan dosa-dosa kecil danmeninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang
menodai muru’ah.
Menurut
Syuhudi Ismail, criteria-kriteria periwayat yang bersifat adil, adalah :
·
Beragama Islam
·
Berstatus Mukallaf
·
Melaksanakan ketentuan agama
·
Memelihara muru’ah[4]
·
Rawi bersifat dhabit
Maksudnya
masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan
dalam dada maupun dalam kitab (tulisan).
Dhobith dalam
dada ialah terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak ia maneriama hadis
sampai meriwayatkannya kepada orang lain, sedang, dhobith dalam kitab
ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun
sifat-sifat kedhobitan perowi, nmenurut para ulama, dapat diketahui melalui:
1.
kesaksian para
ulama
2.
berdasarkan
kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhobithannya.[5]
Apabila
seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan
kepada orang lain dan ingatannya sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja,
orang itu dinamakan dhabtu shadari. Kemudian apabila apa yang di
sampaikan berdasarkan buku catatannya (teks book) ia disebut dhabtu kitab. Rawi
yang adil dan sekaligus dhabit di sebut tsiqat.[6]
·
Sanadnya
bersambung
Maksudnya
adalah tiap-tiap perowi dari perowi lainnya benar-benar mengambil secara
langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
Untuk
mengetahui dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadis
menempuh tata kerja sebagai berikut;
1.
Mencatat semua
periwayat yang diteliti,
2.
Mempelajari
hidup masing-masing periwayat,
3.
Meneliti
kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat
yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang
terpakai berupa haddasani, haddasani, akhbarana, akhbarani, ‘an,anna,
atau kasta-kata lainnya.[7]
Jadi, suatu
hadist dapat dinyatakan bersambung apabila :
·
Seluruh rawi
dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
·
Antara
masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu
benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadist secara sah menurut
ketentuan tahamul wa ada al hadist.
·
Tidak ber-‘illat
Maksudnya ialah
hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi
yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadis, sementara dhahirnya
selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat
terjadi pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama.
Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad,
seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.[8]
·
Tidak syadz
Kejanggalan dalam Hadits adalah perlawanan
antara suatuHadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang kuat diterima
perawiannya) dengan Hadits yang dirawikan oleh rawi yang tarjih (lebih kuat)
dari padanya, disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan
dalam kpe-dlabhitan rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.Martabat
Hadits shahih Hadits mutafaq-‘laihi atau muttafaq-‘ala shihatihi. Yaitu Hadits
shahih yang telah disepakati oleh kedua imam Hadits bukhari dan Muslim, tentang
sanadnya. Hadits hasan ialah Hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang
yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan Hadits itu
diriwayatkan tidak dari suatu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan
maknanya.[9]
Contoh
:
رفع القلم عن
النا ثم حتى يستيقظ وعن االمبلى حتى يبرأ وعن الصبى حتى يكبر
Pena Tuhan
diangkat dari tiga perkara. Dari orang yang tidu sampai bangunnya, dari orang
gila sampai sembuhnya dan dari anak sampai masa balighnya.
Hadist ini
diriwayatkan oleh tujuh sahabat. Yaitu Aisyah, Abu Qatadah, Ali, Umar bin
Khtthab, ibn Abbas, Sidah ibn Aus dan Tsauban. Hadist Aisyah dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud,
Nasai, Ibn Majah, Hakim, Ishak ibn Rahawaih, Darimi, Ibn Jarud dan Ibn Hibban.
Adapun hadis Abu Qatadah dikeluarkan oleh hakim. Adapun hadist Ali dan Umar bin
Khatthab dikeluarkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasai dalam al-Kubra, Ibn Majah,
Baihaqi, Ahmad dan Hakim. Adapun hadist Ibn Abbas dikeluarkan oleh Thabrani
dalam al-Kabir dan dalam al-Ausath. Adapun hadist Syidad ibn aus dan Tsauban
dikeluarkan oleh Thabrani dalam al-Kabir dan dalam al-Syammiyyin.
Klasifikasi Hadist Shahih
Para ahli hadis
membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih
li-ghoirih. perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau
ingatan perowinya. pada shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna,
sedang pada hadis shahih li-ghoirih, ingatan perowinya kurang sempurna.
A. Hadis Shahih
li dzati
Adalah hadist yang semua persyaratan
di atas telah terpenuhi seluruhnya.[10]
B. Hadis Shahih
Li Ghoirihi
Maksudnya ialah
hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik
keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya
berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih
li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi, karena adanya Syahid
atau mutabi’ yang menguatkan. Maka hadist li dzatih ini berubah
kedudukan menjadi shahih li ghairih, yakini hadist yang keshahihannya
dibantu oleh adanya matan atau sanad yang lainnya. Dengan demikian, hadist
shahih li ghairih dapat didefinisikan sebagai berikut :
مَا لَم
يَشتَمِلُّ عَلَى أعلَى صِفَاتِ القَبُولِ يَعنِى لَيسَ هُوَ بِصَحِيحٍ فِى
الأَصلِ وَاِنَّمَا ارتَقَى الَى دَرَجَةِ الصَّحِيحِ بِجَا بِرِ الوُ صُو رِ
فِيهِ
Hadist yang tidak
memenuhi sifat-sifat hadist maqbul secara sempurna, yaitu hadist yang asalnya
bukan hadist shahih karena ada factor pendukung yangdapat menutupi kekurangan
yang ada di dalamnya.
Di antara
contoh hadist shahih li ghairih adalah hadist riwayat Turmudzi melalui jalur
Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW.,
bersabda :
لَو لَا اَن اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِى
لّأَمَر تُهُم بِالسِّوَاكِ عِندَ كُلِّ صَلَا ةٍ
Seandainya
tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak setiap kali
hendak melaksanakan shalat.[11]
Hadist tersebut
dari Abu Hurairah, dan Attirmidzi mengatakan setelah mengeluarkan hadist
tersebut, hadist Abu Hurairah sesunguhnya shahih karena sesungguhnya
periwayatannya itu juga dari periwayat yang lain.[12]
c)
Martabat Hadist Shahih
Hadisr shahih yang paling tinggi derajatnya adalah hadist
yang bersanad ashalul asanid, kemudian berturut-turut sebagai berikut:
1. hadist yang disepakati oleh Bukhari Muslim.
2. Hadist yang diriwayatkan oleh imam Bukhari sendiri
3. Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri.
4.
Hadist sahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim,
sedangkan kedua Imam tersebut tidak men-takhrij-nya.
5.
Hadist sahih menurut syarat Bukhari, sedangkan Imam tidak men-takhrij-nya.
6.
Hadist ahih menurut Syarat Muslim, sedangkan Imam Muslim senisiri tidak men-takhrij-nya.
7.
Hadist sahih yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam Bukhari dan
Imam Muslim.
2)
Hadist Hasan
a)
Pengertian
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal,
yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan
dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara
hadis shahih dan hadis dha’if, dan juga karena sebagian ulama
mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
1.Definisi
Al- Chatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah mashur
rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang
diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukoha’
2.
Definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya
tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejangalan), dan
diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah
hadis hasan.[13]
3.
Menurut Ibnu hajar
خَبَرُ الأَحَا دِ بِنَقلِ عَدلٍ تَا
مِّ الضَّبطِ مُتَّصِلِ اسَّنَدِ غَيرِ مُعَلَّلٍ وَلَا شَاذٍ
Khabar ahad yang dinukil orang adil,
kurang sempurna hafalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat dan tidak syadz.[14]
Contoh hadits Hasan :
ر
ضا الرب فى الرضا الوالدوسخط الوالد
Keridhaan Allah bergantunng kepada
keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah bergantung juga pada kemurkaan orang
tua.
Hadits ini diriwayatkan Abdullah ibn
Amr ibn al-Asyh dan Abdullah ibn Umar. Adapun periwayatan Abdullah ibn Amr ibn
al-Asyh dikeluarkan Turmudzi, Baihaqi dalam Syu’abil Iman, Hakim, Bazar. Adapun
periwayatan Abdullah ibn Umar dikeluarkan oleh Bazzar dan dalam sanadnya ada
yang bernama Ismah ibn Muhammad yang dinilai al-Matruk ( istilah lain dari
pemalsu hadits). Memang periwayatan Abdullah ibn Amr ibn al-Asyh ada yang
bernilai al-marfu’, namun ada yang bernilai al-Mauquf.[15]
b)
Klasifikasi Hadist Hasan
Sebagaimana hadis shahih yang
terbagi menjadi dua macam, hadis hasasn pun terbagi menjadi dua macam, yaitu
hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih;
A.
Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah
hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan.
pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
B.
Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak memenuhi
persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya
adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain
yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka kedudukan hadis dha’if
tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.
3)
Hadist Dhaif
a)
Pengertian
Hadits dhaif
secara bahasa berarti lemah
artinya bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat. [16]
Menurut Habib Munzir bin
Fuad Al Musawa
Hadits Dhaif adalah hadits yg lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dg hadits dhaif merupakan hal yg diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin, Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya.[17]
Hadits Dhaif adalah hadits yg lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dg hadits dhaif merupakan hal yg diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin, Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya.[17]
Menurut
Muhaditsin,
هُوَكُلُّ حَدِيثٍ لَم تَجتَمِع فِيهِ صِفَا تُ القَبُولِ. وَقَا لَ
أَكثرُ العًلَمَاءِ هُوَ مَا لَم يَجمَع صِفَةَ الصَّحِيحِ وَالحَسَنِ.
Hadist
Dhaif adalah semua hadist yang tidak terkumpul pada sifat-sifat bagi hadis yang
diterima dan menurut kebanyakan pendapat ulama’; hadist dhaif adalah yang tidak
terkumpul padanya sifat hadist shahih dan hasan.[18]
Contoh
Hadits Dhaif:
صوموا تصحوا
Berpuasalah
kalian agar kalian menjadi orang sehat.
Hadist ini
diriwayatkan oleh abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Thabrani dalam Mu’jam
Ausath, Abu Nu’aiam dalam Thibi. Dari
jalur Muhammad ibn Sulaiman ibn Abu Daud dari Zuhair ibn Muhammad
dari Suhail ibn abi Salih dari bapaknya dari Abu Hurairah. Thabrani menilai:
tidak seorangpun yang mengeluarkan dengan redaksi seperti ini kecuali Zuhair
ibn Muhammad, dia perawi yang lemah bila mana murid-muridnya dari penduduk Syam
dan ini contohnya. Hadits ini juga dipergunakan Imam Ghazali dalam bukunya
Ihya’ Ulumuddin mengatakan: Hadits tersebut dikeluarkan Thabrani dalam
al-Ausath dan Abu Nu’aiam dalam thibi nabawi dari riwayat Abu Hurairah dengan
sanad yang lemah. Bahkan oleh imam al-Shan’ani hadits ini dinilai palsu.[19]
b)
Klasifikasi
Hadist Dhaif
A. Klasifikasi Hadist berdasarkan Gugurnya Rawi
(1)
Hadist Mu’allaq
Mu’allaq, menurut bahasa adalah isi maf’ul yang berarti terikat
atau tergantung. Karena hanya terikat pada bagian atas saja, sementara bagian
bawahnya terputus sehingga menjadi seperti sesuatu yang bergantung pada atap
dan yang semacamnya. Sedangkan menurut istilah, hadist mu’allaq adalah hadist
yang seorangrawinya gugur atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan.
Contoh
: Bukhari meriwayatkan dari Al-Majisyun dari Abdullah bin Fadhl dari abu
salamah dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW. Bersabda :
تُفَاضِلُو ابَينَ الأَنبِيَاءِلَا
Janganlah
kalian melebih-lebihkan di antara para nabi
Pada
hadist ini, Bukhari tidak pernahbertemu dengan Al-Majisun.[20]
(2)
Hadist Mu’dhal
Menurut
bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan
para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya,
atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya : diriwiyatkan oleh
Al-Hakim dalam kitab Ma’rifat UlumAl-Hadist dengan sanadnya kepada Al-Qa’naby
dari Malik bahwa dia menyampaikan, bahwa Abu Huraoirah berkata, Rasulullah
bersabda,
لِلمَلٌو كِ طَعَا مُهُ وَكِسوَتُهُ
بِالمَعرُوفِ وَلَا يُكَلَّفُ مِنَ العَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيقُ
Seorang hamba sahaya berhak
mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadarnya dengan baik dan tidak dibebani
pekerjaan, melainkan apa yang dia mampu mengerjakannya.
Al-Hakim berkata, “hadisr ini
Mu’dhal dari malik dalam kitab l-Muwatha’.”
Hadist
ini kita dapatkan bersmbung sanadnya pada kita, selain Al-Muwatha’,
diriwayatkan dari malik bin Anas dari Muhammad bin ‘Ajjlan, dari bapaknnya,
dari Abu Hurairah. Letak ke-mud’dhalan-nya karena gugurnya dua perawi dari
sanadnya, yaitu Muhammad bin ‘Ajlan dan bapaknya. Kedua rawi tersebut gugur
secara berurutan.[21]
(3) Hadist
Mursal
Hadits
mursal adalah hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan
gugur disisn adalah nama sanad terakhirnya tidak disebutkan.[22]
Hadits
mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan
batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad.
Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang
merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW.
(penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat
dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang
terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam
sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima
langsung dari Rasulullah.[23]
Oleh
karena itu, ditinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan sifat-sifat
pengguguran hadis, hadist mursal dibagi menjadi 3 :
1. Mursal jail, yaitu apabila
pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabi’in) jelas sekali, dapat
diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan itu tidak hidup sezaman
dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.
2. Mursal Shahabi, yaitu pemberitaan
sahabat yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW., tetapi ia tidak mendengar
atua mendengarnya sendiri apa yang ia katakana,karena pada saat Rasulullah
hidup, ia masih kecil atau terakhir masuknya dalam agama islam. Hadist mursal
shahabi ini dianggap sahih kaarena pada galibnya ia tiada meriwayatkan selain
pada sahabat, sedangkan para sahabat seluruhnya adil.
3. Mursal Khafi, yaitu hadist yang
diriwayatkan tabi’in, dimana tabi’in yang diriwayatkan hidup sezaman dengan
shahabi, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadistpun darinya.[24]
(4) Hadist
Munqathi’
Hadist
Munqathi’ adalah hadist yang gugur yang seorang rawinya sebelum sahabat
disitu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak
berturut-turut.
Macam-macam
pengguran (inqitha’) sebgai berikut:
1. Inqitha’ dilakukan dengan jelas
sekali, bahwa si rawi meriwayatkan hadits dapat diketahui tidak sezaman dengan
guru yang memberikan hadits 0adanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya,
tetapi tidak pendapat ijazah(izin) untuk meriwayatkan haditsnya.
2.
Inqitha’ dilakukan dengan sama-samar, yang hanya dapat diketahui oleh
orang yang mempunyai keahlian saja.
3.
Diketahui dari jurusan lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau
lebih dalam hadits riwayat orang lain.
(5) Hadits
Mudallas
Adalah
hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak
ternoda. Rawi yang demikian disebut Mudallis. Hadits yang diriwayatkan
disebut hadits Mudallas, dan perbuatannya disebut dengan Tadlis.
Macam-macam
tadlis sebagai berikut:
1. Tadlis Isnad, yaitu apabila
seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadits dari orang yang pernah bertemu
dengan dia, tapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadits darinya.
2. Tadlis Syuyukh, yaitu apabila
seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits yang didengarkan dari seorang guru
dengan menyebutkan nama kuniyah-nya, nama keturunannya, atau menyipati
gurunya dengan sifat-sifat yang belum/tidak dikenal oleh orang banyak.
3. Tadlis Taswiyah, yaitu apabila
seorang rawi meriwayatkan hadits dari gurunya yang tsiqah, yang oleh
gurunya diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini juga menerima
dari seorang guru yang tsiqah pula.[25]
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Secara bahasa (etimologi), kata الصحيخ (sehat) adalah antonim
dari kata السقيم
(sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya
(haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian
lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz). Secara istilah
(terminologi), maknanya adalah:
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit).
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit).
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal,
yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan
dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara
hadis shahih dan hadis dha’if, dan juga karena sebagian ulama
mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
Definisi Al- Chatabi: adalah hadis
yang diketahui tempat keluarnya, dan telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya
tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang
dipakai oleh umumnya fukoha’
Definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis yang
diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta
tidak ada syadz (kejangalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti
demikian, maka dia menurut kami adalah hadis hasan.
Menurut Ibnu hajar
خَبَرُ الأَحَا دِ بِنَقلِ عَدلٍ تَا
مِّ الضَّبطِ مُتَّصِلِ اسَّنَدِ غَيرِ مُعَلَّلٍ وَلَا شَاذٍ
Khabar ahad yang dinukil orang adil,
kurang sempurna hafalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat dan tidak syadz.
Hadits dhaif secara bahasa berarti lemah
artinya bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Menurut Habib Munzir bin Fuad Al Musawa
Hadits Dhaif adalah hadits yg lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dg hadits dhaif merupakan hal yg diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin, Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya.
Hadits Dhaif adalah hadits yg lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dg hadits dhaif merupakan hal yg diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin, Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya.
2.
Saran-saran
Makalah ini kami buat jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan
saran sangat kami perlukan dari para pembaca pada umumnya dan khususnya
mahasiswa UTM demi perbaikan makalah
kami kedepannya.
[1] http://jacksite.wordpress.com/2007/07/04/ilmu-hadits-definisi-hadits-shahih/
di akses tanggal 1 April 2012
[2] Agus Solahuddin, dkk. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
2008. Hlm. 141
[3] http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-hasan-dhaif/
di akses tanggal 1 April 2012
[4] Agus Solahudin. Op.cit. hlm. 142.
[5] http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-hasan-dhaif/
di akses tanggal 1 April 2012
[6] Agus Solahudin. Ibid. hlm. 143.
[7] http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-hasan-dhaif/
di akses tanggal 1 April 2012
[8] http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-hasan-dhaif/
di akses tanggal 1 April 2012
[9] http://nguntalngopi.wordpress.com/2011/01/12/klasifikasi-hadits-berdasarkan-kualitasnya/ di akses tanggal 1 April 2012
[10] Tim penyusun MKD IAIn Sunan Ampel. Study Hadits. 2011. Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Press. Hlm 113
[11] Mudasir. Ilmu Hadis. 1999. Bandung: Pustaka setia. hlm. 148-149
[12] Abdul Karim. Min Athyibul Manah fil Ilmul Musthalah. Jakarta: Narul
Hakta. Hlm. 16
[13] http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-hasan-dhaif/
di akses tanggal 1 April 2012
[14] Agus Solahudin. Op. cit. hlm. 146
[15] Tim penyusun MKD IAIn Sunan Ampel. Study Hadits. 2011. Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Press. Hlm 131
[16] http://www.sarjanaku.com/2011/11/hadits-dhaif-pengertian-macam-macam.html
di akses tanggal 1 April 2012
[18] Agus Solahudin. Op. cit. hlm. 148
[19] Tim penyusun MKD IAIn Sunan Ampel. Study Hadits. 2011. Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Press. Hlm 136-137
[20] Ibid. hlm. 151
[21] Ibid. hlm. 152
[22] http://www.sarjanaku.com/2011/11/hadits-dhaif-pengertian-macam-macam.html
di akses tanggal 1 April 2012
[23] http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-hasan-dhaif/
di akses tanggal 1 April 2012
[24] Agus Solahudin. Op. cit. hlm. 153
[25] Ibid. hlm. 154-155
Tiada ulasan:
Catat Ulasan