Ahad, 21 April 2013

Nadhariyatul Aqdi



BAB I
PENDAHULUAN
1.                  Latar Belakang
Fiqh muamalah merupakan segalaperaturan yang diciptakan Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.Ruang lingkup fiqh muamalah ada beberapa sesuai dengan pembagianya, salah satu dari ruang lingkup tersebut membahas tentang ‘uqud (perikatandanperjanjian). ‘Uqud = ‘Aqad, Perkataan 'aqdu mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu  bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji ('ahdu) dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut perikatan
Selain itu Aqad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing.Secara garis besar dalam materi ‘Aqadt erdapat beberapa pembahasan yaitu:  Asal-usul ‘Aqad, pengertian ‘Aqad, rukun-rukun ‘Aqad, Syarat-syaratAqad, macam-macam ‘Aqad, Ilzam dan Iltizam. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang asal-usul ‘Aqad, pengertian ‘Aqad, rukun-rukun ‘Aqad, Syarat-syaratAqad, macam-macam ‘Aqad, Ilzam dan Iltizam akan kami paparkan pada makalah ini.
2.                  Rumusan Masalah
1)      Bagaimana asal usul akad ?
2)      Bagaimana isi dari teori perikatan ?
3)      Bagaiman cara pembentukan akad ?
4)      Apa yang dimaksud dengan akad tertulis ?
5)      Bagaimana pengertian dari uqud ainiyah ?
3.                  Tujuan
1)         Untuk mengetahui asal usul akad
2)         Untuk mengetahui teori perikatan
3)         Untuk mengetahui pembentukan akad
4)         Untuk mengetahui akad tertulis
5)         Untuk mengetahui uqud ainiyah
BAB II
PEMBAHASAN
1.                  Asal Usul Akad
Akad adalah bagian dari macam-macam tasharruf (perpindahan), yang dimaksud dengan tasharruf ialah Setiap yang keluar dari seseorang yang sudah mumayyiz dengan kehendak sendiri dan dengannya syara’ menetapkan beberapa konsekuensi, baik berupa ucapan maupun yang setingkat dengan ucapan berupa aksi atau isyarat.[1]
Tasharruf menurut fiqh, ialah :
 مَا يَصدُ رُ مِن شَخصٍ باِ رَا دَ تِهِ وَيُرَتِبُ عَلَيهِ الشَّرعُ نَتَا ئِجَ حُقُو قِيَّةً كُلُّ
“Segala yang dilakukandariseseorangdenganiradatnya(kehendaknya) dansyara’menetapkankepadaorangtersebutbeberapanatijahhak”[2]
Tasharruf terbagi menjadi dua:
            1.    Tasharruf fi’li (perbuatan)
Yaitu usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya, selain dari lidah, seperti memanfaatkan tanah yang tandus, menerima barang dalam jual beli, merusakan benda orang lain
            2.    Tasharruf qauli (perkataan)
Yaitu tasharruf yang keluar dari lidah manusia.
 Tasharruf qauli terbagi dua
·         Tasharruf  qauli ’aqdi, yaitu sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan dari kedua belah pihak yang saling bertalian, seperti jual beli, sewa menyewa dan perkongsian
·         Tasharruf  qauli  bukan ’aqdi, terbagi menjadi dua: (a) merupakan pernyataan pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak, seperti wakaf, thalak dan memerdekakan, (b) tidak menyatakan suatu kehendak, tetapi dia mewujudkan tuntutan-tuntutan hak, seperti gugatan, iqrar, sumpah untuk menolak gugatan (tak ada aqad, tapi perkataan semata)[3]
2.                  Nadhariatul Uqud
Akadadalahsuatumacamtasharruf yang dilakukanmanusia
v  Menurutbahasa'‘Aqadmempunyaibeberapaarti, antara lain:
1.    Mengikat ( الربط ), yaitu
“Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda."
       2.    Sambungan ( عقدة), yaitu:
الصوصل الذى يمسكهما ويوثقهما
"Sambungan yangmemegangkeduaujungitudanmengikatnya."[4]
       3.  Janji sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an
بلى مَن اَوفَى بِعَهدِهِ وَاتَّقَى فَاِنَّا الله يُحِبُّ المُتَّقِينَ   
“(bukan demikian), Sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”
Istilah ‘ahdu dalam Al Qur’an mengacu kepada pernyataan sese­oranguntukmengerjakansesuatuatauuntuktidakmengerjakansesuatudantidakadasangkut-pautnyadengan orang lain.
Perkataan 'aqdu mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji ('ahdu) dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain disebutperikatan (‘Aqad).
Dari pengertiandiatasdapatdipahamibahwa ‘Aqadmempunyaimencakuptigatahap, yaitu:perjanjian, persetujuanduabuahperjanjianataulebihdanperikatan
Menurut istilah (terminologi), yang dimaksud dengan akad adalah: Terikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara'' yang menetapkankeridhaankeduabelahpihak."[5]
v  MenurutEtimologi
”Ikatan antara dua perkara, baik secara maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi”.Bisa juga ”Al-Aqd (sumbangan), ”Al-ahdi dan janji dan janjimenurut terminologi ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan khusus:
a.    Pengertian Umum
Pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu: ”segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan dan gadai”.
b. Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan  ulama fiqih, antara lain:
Ø  Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya
Ø  Pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.” contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual, ”saya telah menjual barang ini kepadamu.” atau ”saya serahkan barang ini kepadamu.” contoh qabul, ”saya beli barangmu” atau ”saya terima barangmu”.
·         Dengan demikian ijab qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukan suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syariat Islam.
3.                  Pembentukan Akad
Akadadalahsalahsatusebabdari yang ditetapkansyara’ yang karennyaatimbullahbeberapahokum.Dengankitamemperhatiakantakrifakad,dapatlahkitamengatakan ,bahwaakaditusuatu:”amaliradimusytarakyaqumualattaradi” (suatuperbuatan yang sengajadibuatolehduaorang,berdasarkanpersetujuanmasing-masing).
Rukun Akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul. Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.[6]
Ulama selain hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu:
ü  Dua pihak atau lebih yang saling terikat dengan akad (’aqid)
Yaitu dua orang atau lebih yang secara langsung terlibat dalam perjanjian. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki kemampuan yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, sehingga perjanjian atau akad tersebut dianggap sah. Kemampuan tersebut terbukti dengan beberapa hal:
Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihak-pihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan perjanjian.
Pilihan. Tidak sah akad yang dilakukan orang dibawah paksaan, kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan butuh pengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi hutangnya.
Akad itu dianggap berlaku (jadi total) bila tidak memiliki pengandaian yang disebut khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ar-ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya
ü  Sesuatu yang diakadkan (ma’qud alaih)
Yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Dalam hal itu juga ada beberapa persyaratan sehingga akad tersebut dianggap sah, yakni sebagai berikut:
·                 Barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis bisa dibersihkan. Oleh sebab itu, akad usaha ini tidak bisa diberlakukan pada benda najis secara dzati, sepserti bangkai. Atau benda yang terkena najis namun tidak mungkin bisa dihilangkan najisnya, seperti cuka, susu dan benda cair sejenis yang terkena najis, namun kalau mungkin dibersihkan, boleh-boleh saja.
Barang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan. Karena fungsi legal dari satu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Segala komoditi yang tidak berguna seperti barang-barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat diperjualbelikan.
Komoditi harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan, karena yang demikian itu termasuk menyamarkan harga dan itu dilarang
Barang yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan. Barang yang tidak bisa dimiliki tidak sah diperjualbelikan.
Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual langsung, dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada dilokasi transaksi. Bila barang-barang itu dijual langsung, harus diketahui wujudnya seperti mobil tertentu atau rumah tertentu dan sejenisnya. Namun kalau barang-barang itu hanya dalam kepemilikan seperti jual beli sekarang ini dalam akad jual beli as-Salam, dimana seseorang pelanggan membeli barang yang diberi gambaran dan dalam kepemilikan penjual, maka disyaratkan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, berdasarkan sabda Nabi: ”barangsiapa yang melakukan jual beli as-Salam hendaknya ia memesannya dalam satu takaran atau timbangan serta dalam batas waktu yang jelas.”
ü  Shighat, yaitu ijab dan qabul
Definisi ijab dan qabul menurut ulama Hanafiyah. ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan qabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukan keridhaan atas ucapan orang yang pertama.
Pendapat lain secara umum, ijab adalah ucapan dari orang yang menyerahkan barang (penjual dalam jual beli), sedangkan qabul adalah pernyataan dari penerima barang.
Para ulama telah sepakat bahwa akad itu sudah dianggap sah dengan adanya pengucapan lafal perjanjian tersebut. Namun mereka berbeda pendapat apakah perjanjian itu sah dengan sekedar adanya serah terima barang, yakni seorang penjual menyerahkan barang dan pembeli menyerahkan uang bayarannya tanpa adanya ucapan dari salah seorang diantara mereka berdua. Kenyataan pada zaman modern sekarang, transaksi bisa dilakukan dengan perangkat komputer dengan tanpa adanya ucapan dari salah seorang. Pendapat yang benar menurut mayoritas ulama adalah bahwa jual beli semacam itu sah berdasarkan hal-hal berikut:
Hakikat dari jual beli yang disyariatkan adalah menukar harta dengan harta dengan dasar kerelaan hati dari kedua belah pihak, tidak ada ketentuan syar’i tentang harusnya lafal tertentu. Sehingga semuanya dikembalikan kepada adat istiadat.
Tidak terbukti adanya ijab qabul secara lisan dalam nash-nash syariat. Kalau itu merupakan syarat, pasti sudah ada nash yang menjelaskan.
Umat manusia telah terbiasa melakukan jual beli dipasar-pasar mereka dengan melakukan serah terima barang saja (tanpa pengucapan lafal akad) diberbagai negeri dan tempat, tanpa pernah diingkari ajaran syariat. Sehingga itu sudah menjadi ijma
Hal hal yang harusdiperhatikandalamshighat al-'Aqdialah:
1.    Shighat al-'aqd harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam ijab qabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian.
2.    Harus bersesuaian antara ijab dan qabul
3.    Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena harus saling ridha.
Menurut Abdul Ghofur Anshori yang dikutip dari Ahmad Azhar Basyi rmengemukakan, bahwa sighat akad dapat dilakukan secara lisan, tulisan, atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya ijab dan kabul. Ada pun penjelasan beliau adalah sebagai berikut:
1.    Sighat Akad secara Lisan.
Akad dipandang telah terjadi apabila ijab dan Kabul dinyatakan secara lisan oleh pihak-pihak. Dengan catatan bahwa ucapan yang disampaikan mudah dipahami oleh para pihak atau orang yang dituju.
2.    Sighat Akad dengan Tulisan.
Ijab dipandang telah terjadi setelah pihak kedua menerima dan membaca surat dimaksud. Jika dalam ijab tersebut tidak disertai dengan pemberian tenggang waktu, Kabul harus segera dilaku­kan dalam bentuk tulisan atau surat yang dikirim via pos. Bila disertai dengan pemberian tenggang waktu, Kabul supaya dila­kukan sesuai dengan lama tenggang waktu tersebut.
3.    Sighat Akad dengan Isyarat
            Dengan syarat orang tersebukti dan bisa berbicara dan tidak bisa menulis, akan tetapi jika ia bisa menulis dan ia melakukan akad dengan isyarat maka akadnya tidak sah.
4.    Sighat Akad dengan perbuatan.
Ini sering terjadi dalam dunia modern ini, yang terpenting ada­lah dalam akad itu jangan sampai terjadi semacam tipuan, kecohan, dan segala sesuatunya harus dapat diketahui dengan jelas.

4.                  AkadTertulis
Mengucapkan dengan lidah, bukan lah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dalam mengadakan akad. Ada beberapa cara untuk memperlihatkan kesungguhan. Lantaran itu para fuqaha menerangkan cara-cara yang harus kita tempuh.
1.      Kitabah
2.      Isyarah
3.      Ta’athi ( beri-memberi yang berlaku dalam bai’ulmu’athah= jual beli secara beri memberi).
Kitabah antara dua aqid yang berjauhan tempatnya, sama dengan ucapan lidah yang dilakukan oleh mereka yang sama hadir. Sebagai mana ijab dan qabul dengan perkataan, boleh juga ijab dan qabul dengan surat menyurat.
Atas dasar inilah para fuqaha membentuk kaidah :                                          
الكتا بة كا لخطا ب
"Tulisanitusamadenganucapan
Hal ini telah diuraikan dalam Al Asybah wan Nadhair, karangan Ibn Nujaim dan dalam kitab Fadhul Qadir, asal saja surat itu terang dan jelas. Dalam istilah fiqh dikatakan Mustabinah Marsumah
 الا شارَةُ المعهو دَةُ لِاَ خرَسَ كَا لبَيَا نِ بِا للِّسَا نِ
"Isyaratbagi orang bisudenganucapanlidah ( samadenganpenjelasandenganlidah ) “
a)      Ta’athi
Sebagai yang bisa berlaku sekarang ini, kita berikan harga, kita ambil barang, tak pernah dikatakan : “saya jual ini kepada anda DAN SAYA BELI INI DARI ANDA “. Ini namanya Ta’athi, walaupun ta’athi oleh sebagai fuqaha syar’iyah tidak dibenarkan.
b)      Lisanu lhal
Apabila seseorang meninggalkan barang-barangnya dihadapan kita, kemudian pergi, kita mengambil barang-barang itu berdiam diri saja, maka para fuqaha memandang telah ada aqad ida’ ( titipan ) antara sipeletak barang dan kita yang menghadapi barang titipan dengan jalan dalatul hal
5.                  Uqud Ainiyah
Kemudiansampailahkitapadasuatupembahasanmengenaiakad,yaituuqud’ainiyah. Telahjelasbahwaakaddipandangtelahsempurnadenganadnyaijabdanqobul.Dalampadaituadabeberapaakad yang diperlukanqabald,yaitu yang dinamakanuqud’ainiyah, yaituhibah, I’arah, ida’,qardldanrahn. Dalamakad-akadiniperluadanyaqabald,karena aka-akadinimerupakanakad-akadtabarru’.
Secara etimologis Hibah memberikan sesuatu, sedangkan secara terminologis hibah adalah memberikan harta dari orang yang boleh memberikan tasharruf saat ia masih hidup tanpa ada imbalan (I’wadh)
            Ijarah secara etimologis adalah upah sewa yang diberikan kepada seseorang yang telah mengerjakan satu pekerjaan sebagai balasan atas pekerjaannnya.
            Ar -Rahn secara etimologis berarti tetap, kekeal, dan jaminan. Akad ar-rahn dalam istilah hokum positif disebut dengan barang jaminan, agunan, dan rungguhan. Dalam islam ar-rahn merupakan sarana saling tolong menolong bagi umat islam, tanpa adanya imbalan jasa.[7]







  
  BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
'‘Aqad adalah bagian dari macam-macam tasharruf yang dilakukan manusia, Pengertian '‘Aqad dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa ‘Aqad mempunyai mencakup tiga tahap, yaitu : perjanjian, persetujuan dua buah perjanjian atau lebih.
Rukun-rukun '‘Aqad : Aqid ialah orang yang beraka. terkadang masing-masing pihak terdiri dan satu orang terkadang terdiri dari beberapa orang, Ma'qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan, Maudhu' al 'aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
Shighat al 'aqd ialah ijab dan qabul.
Syarat-syarat ‘Aqad, Setiap pembentuk ‘Aqad atau akad mempunyai syarat yang ditentukan syara' yang wajib disempurnakan, syarat syarat terjadinya akad ada dua macam, yaitu :  Syarat-syarat yang bersifat umum dan Syarat syarat yang bersifat khusus
2.      Saran
Demikian paparan dari makalah kami, mengenai : Asal-usul ‘Aqad, pengertian ‘Aqad, rukun-rukun ‘Aqad, Syarat-syarat Aqad, macam-macam ‘Aqad, Ilzam dan Iltizam dari materi ‘Uqud. Kami kira bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, sehingga demi kesempurnaan isi makalah ini sekirannya dari Bapak Dosen dan dari teman-teman sekalian atas sarannya kami ucapkan banyak terima kasih.










[1] Abdul Aziz Muhammad Azzam, FiqhMuamalah, Jakarta : Amzah, hal : 18
[2]Teungku Muhammad Hasbi, PengantarFiqhMuamalah, Semarang : PT. PustakaRizki Putra, Hal :  24
[3]file:///C:/Users/S_FD/Downloads/teori-akad-dalam-fiqh-muamalah.html
[4]  Ibid. Hal : 26
[5] file:///C:/Users/S_FD/Downloads/uqud-perikatan-dan-perjanjian.html
[6] file:///C:/Users/S_FD/Downloads/uqud-atau-perikatan-dan-perjanjian.html
[7] Mardani, ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta : Rajawali Pers, Hal :140, 158 dan 193

Tiada ulasan:

Catat Ulasan