Ahad, 7 April 2013

Dalalah yang Jelas dan Tingkatannya


BAB I
PENDAHULUAN
1.                  Latar Belakang Masalah
Nash/teks Al-Qur’an dan Hadits dalam teori terbagi dua, qoth’i (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi dalalah dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash qoth’i itu sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah.
Yang dimaksud kalamiyyah ialah naqliyah semata, dan dalam hal ini yang benar hanya satu. Maka barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini, ia berdosa. Nash jenis ini di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka dan mu’jizat-mu’jizatnya dan sebagainya. Kemudian apabila kesalahan seseorang itu mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu kafir, kalau tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan tersesat.
Adapun ushuliyyah adalah seperti ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai hujjah, maka masalah-masalah ini dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang menyalahinya adalah berdosa.
Mengenai masalah fiqhiyyah yang termasuk keadaan qoth’i yaitu shalat 5 waktu, zakat, puasa, pengharaman zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/ arak dan semua yang diketahui secara pasti dari agama Allah. Maka yang benar dari masalah-masalah itu adalah satu, dan itulah yang diketahui. Sedang orang yang menyalahinya adalah berdosa.
1. Apabila seseorang menyelisihi hal-hal yang diketahui secara dhoruri dari maksud al-Syari’ (hal-hal yang setiap Muslim wajib tahu), maka ia adalah kafir, karena pengingkarannya tidak timbul kecuali dari orang yang mendustakan syara’. (Misalnya orang mengingkari keesaan Allah, mengingkari wajibnya shalat 5 waktu, wajib puasa Ramadhan dsb, maka pengingkarnya itu adalah kafir).
2. Apabila masalahnya mengenai hal yang diketahui secara pasti, dengan jalan penyelidikan, seperti hukum-hukum yang dikenal dengan ijma’, maka pengingkarnya bukan kafir, tetapi ia bersalah dan berdosa. (Contohnya, mengingkari tidak bolehnya perempuan mengimami shalat lelaki, maka pengingkarnya adalah berdosa).
3. Adapun masalah fiqhiyyah yang dhonni, yang tidak mempunyai dalil pasti, maka masalah ini jadi tempat ijtihad dan tidak ada dosa atas mujtahid dalam masalah itu menurut orang yang berpendapat bahwa yang tepat adalah satu, dan tidak (berdosa) pula menurut orang yang mengatakan setiap mujtahid adalah tepat.
2.                  Rumusan Masalah
Apa yang di maksud Dalalah yang jelas dan ada berapa tingkatannya?
3.                  Tujuan Masalah
Mengeahui pengertian dalalah yang jelas dan macam-macam tingkatannya
BAB II
PEMBAHASAN
Ada dua kelompok pendapat tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi kejelasan, Golongan Hanafiyah dan Golongan Mutakalimin. Masing-masing digambarkan dengan bagan berikut:
Pembagian lafazh itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin atan tidaknya di-takwil atau di-nasakh. Dilihat dari peringkat kejelasan lafazh itu Menurut golongan Hanafiyah, dimulai dari yang jelasnya bersifat sederhana (Zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan super jelas (muhkam).
Dalalah (الدلالة) adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di makksudkan tau memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul   مدلول- yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang kedua adalah kalinya disebut dalil (دَلِيلٌ)- yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.
Di dalam Al-Mishbah Al-Munir, dijelaskan bahwa :
لَا لَةُ مَا يَقْتَضِيْهِ الْلَفْظُ عِنْدَ الْإِ طْلَاقِاَلدَّ
Dalalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu diucapkan secara muthlaq.[1]
Dalalah yang jelas dari nash adalah makna yang ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar. Jika nash itu mungkin di takwil, tetapi yang di maksud bukan tujuan asal dati susunan katanya maka disebut zhahir. Jika mungkin di takwil, sedangkan yang dimaksud adalah tujuan asal dari susunan katanya maka di sebut nash. Jika nash itu tidak mungkin ditakwil tetapi hukumnya dapat dinasakh maka disebut mufassar. Dan jika tidak mungkin di takwil dan hukumnya tidak dapat dinasakh  maka disebut  muhakkam.
Setiap nash yang jelas petunjuknya, maka harus diamalkan sesuai dengan makna petunjuk yang jelas itu, dan tidak boleh mentakwil nash itu, meskipun mungkin, kecuali ada dalil.
Kaidah ketiga dan keempat ini khusus menerangkan nash syara’ yang jelas petunjuknya, yang tidak jelas petunjuknya, tingkat kejelasan nash yang jelas dan tingkat kesamaran nash yang tidak jelas, serta hal-hal yang dapat menghilangkan ketidakjelasan itu.
Selisih tingkat kejelasannya adalah pada kemungkinan atau tidaknya menerima takwil. Makna yang dipahami dari bentuk nash itu sendiri dengan tidak mungkin dipahami dengan makna lain lebih jelas petunjuknya dari pada makna yang dipahami dari bentuk nash tapi mungkin dipahami dengan makna lain.
Sedangkan selisih tingkat kesamarannya adalah mampu atau tidaknya menghilangkan kesamaran itu. Nash yang memiliki kesamaran dan tidak mungkinmenghilangkan kesamara itu kecuali dikembalikan kepembuatnya, yaitu syar’i adalah lebih samar daripada nash yang memiliki kesamaran tetapi ada metode untuk menghilangkan kesamaran itu dengan penelitian dan ijtihad.[2]
1.                  Az Zhahir
وَهُوَ اللَّفْظُ الَّذِى ظَهَرَتْ دَلَا لَةٌ عَلىَ الْمَعْنَى الَّذِى لَمْ يُسَقْ لَهُ وَاحْتَمَلَ غَيْرَهُ اِحْتِمأَ لاً مَرْجُوْحاً
Lafal yang nyata petunjuknya kepada pengertian yang dimaksudkan, tetapi mungkin menerima makna yang lain. (Menurut Ulama Hanafiyah)[3]
“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri.” ( Bazdawi, 1307 H. I:46)
“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.” ( As-Sarakhsi, 1372, I:164)
Untuk memahami zhahir itu tidak memerlukan petunjuk lain, melainkan langsung dari rumusan lafazh itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain, sehingga Muhammad Adib Salih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
“Suatu lafazh yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu qarinah yang ada diluar lafazh itu sendiri ,namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.(Muhammad Adib Salih,1984,I : 143)[4]
Sepanjang maksudnya dapat dipaami dari kalimat itu tanpa membutuhkan suatu qarinah (tanda), namun maksud tersebut bukanlah yang dikehendaki dengan sebenarnya dari susunan kalimatnya maka kalimat itu disebut dengan Zhahir. Contohnya.....
وَأَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا ...

....padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba....(QS. Al-Baqarah (2): 275)
            Firman tersebut adalah zhahir dalam menghalalkan segala macam jual-beli dan mengharamkan segala macam riba, karena itu adalah makna yang segera dapat dipahami dari kedua lafal (أَحَلَ dan حَرَّمَ) menghalalkan dan mengharamkan tanpa membutuhkan suatu qarinah. Namun, pengertian tersebut tidaklah yang sebenarnya secara asli dari susunan ayat, karena ayat tersebut sebagaimana sebagaimana kami kemukakan disusun dengan maksud yang sebenarnya untuk mengadakan persaman antara jual beli dan riba, untuk menolak terhadap orang-orang yang mengatakan :
..... إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبوا .....
.....yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba....(QS. Al-Baqarah (2): 275)
Bukan untuk menjelaskan kedua hukumnya.
            Hukum zhahir wajib diamalkan menurut arti yang ditunjukkan lafal itu kecuali ada dalil yang men-takwil-kannya. Jika zhahir berupa lafal muthlaq[5] maka harus diamalkan menurut muthlaq-nya sampai ada dalil yang men-taqyid-kan (membatasi) kemuthlakannya, dan jika lafadz zhahir itu berupa lafal ‘amm[6] maka harus diamalkan menurut keumumannya, sampai ada dalil lain yang men-takhsis-kan berlakunya keumuman tersebut atau diamalkan menurut arti yang di tunjukkan lafal itu sampai dengan ada dalil yang me-mansukh-kan.
Contoh lain :
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. (QS. An Nisaa’ : 3)
            Bermakna jelas dalam memperbolehkan kawin dengan wanita yang halal. Karena makna inilah yang langsung difahami dari kata (فَا نْكِحُوْامَا طَا بَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاء) dengan tidak membutuhkan alasan. Makna ini bukan menjadi tujuan dari susunan ayat, karena maksud asalnya adalah membatasi jumlah istri maksimal empat atau hanya satu, sebagaimana yang telah kami jelaskan dimuka.[7]

2.                  An Nash
Menurut Ulama Hanafiyah
وَهُوَ اللَّفْظُ الَّذِى ظَهَرَتْ دَلَا لَةٌ عَلىَ الْمَعْنَى الَّذِى لَمْ يُسَقْ لَهُ مَعَ احْتِمَا لِ ألأتَّخْصِيْصِ
Lafal yang tegas petunjuknya kepada makna yang dimaksudkan. Tetpai menerima takhsish, kalau dia ‘amm dam menerima takwil kalau dia khash.[8]
Nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Menurut bahasa, Nash adalah raf ‘u asy-syai atau munculnya segala sesuatu yang tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah didefinisikan sebagai berikut:
“ Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafazh zhahir.” (Ad-Dabusi)
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari sipembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.” (Al-Bazdawi)
Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud Nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum yang jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsish dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai Contoh, pada contoh Zahir sebelumnya, dilalahnya tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Disini nash lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.[9]
Kedudukan hukum lafazh Nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya atau dilalah-nya asal tidak ada dalil yang menakwilkan, men-takhsis atau me-nasakh-nya. Perbedaan antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil[10], takhsis, atau nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh Nash.

3.                  Al Mufassar
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa Rasullullah masih bisa dinasakh. (As-Sarakhsi, 372 H. I: 165 ):
Menururt istilah ahli ushul fiqh al Mufassar adalah nash yang yang dengan sendirinya menunjukkan makna secara rinci yang tidak memungkinkan adanya takwil. Antara lain arena bentuk nash itu dengan sendirinya telah menunjukkan makna secra jelas dan rinciyang didalamnya tidak ada lagi kemungkinan diberi makna lain.
“ Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”
Dengan definisi ini maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada petunjuk zhahir dan nash. Sebab pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat kemungkinan ditakwil atau ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada. Sebagai contoh firman Allah SWT:
وَقَا تِلُوالْمُشْرِكِيْنَ كَا فَّةً
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuannya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” ( QS. At-Taubah : 36 )
Karena kata Kaffah (semuanya) meniadakan adanya perkecualian. Banyak sekali materi hukum pidana yang membatasi jumlah hukuman atas tindakan tertentu. Juga materi undang-undang perdata yang membatasi macam-macam tindakan, seperti hutang, hak, atau yang menjelaskan hukum secara rinci yang tidak mungkin untuk ditakwil.
Antara lain karena bentuk nash itu datang secara global, tidak terinci, kemudian disusul oleh syar’i dengan penjelasan rinci, pasti, meniadakan keglobalannya, dan merincinya sehingga nash yang global itu menjadi rinci dan tidak mungkin untuk di takwil.
Seperti firman Allah Swt :
أَقِيْمُوالصَّلَوةَ وَاَتُوا الزَّكَوةَ
Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat.....(QS. Al Baqarah : 43)
وَلِلهِ عَلَى النَّا سِ حِجُّ الْبَيْتِ
Mengerjakan haji kebaitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah. (QS. Ali Imron : 97)
وَأَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
....padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba....(QS. Al-Baqarah (2): 275)
Kata salat, zakat, haji dan riba adalah kata yang global yang mempunyai arti syara’ yang tidak di jelaskanoleh bentuk nash ayat. Tetapi Rasulullah Saw. menjelaskan arti kata-kata itu dengan perbuatan dan ucapannya. Maka kemudian Rasulullah bersabda :
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْ نِي أُصَلِّى
Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat,
Atau
خُذُوا عَنَّي مَنَا سِكَكُم
Ambilah daripadaku ibadah hajimu.
Demikian juga setiap kata yang mujmal (global) dalam al qur’an, yang dijelaskan oleh hadist dengan penjelasan yang cukup sehingga menjadi mufassar (jelas/rinci). Sedangkan perincian itu sendiri adalah bagian dari jumlah sebagai penyempurnaan selama ia berupa dalil qat’i. Inilah yang dalam ilmu musthalalul Hadist disebut Tafsir Tasyri’i, yaitu tafsir yang sumbernya syar’i sendiri. Karena Allah telah memberi kekuasaan kepada Rasulullah untuk memberi penjelasan dan perincian.
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-nya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah Nash dan zhahir maka dilalah mufassar harus didahulukan. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
4.                  Al Muhakkam
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama, yaitu pasti dan tegas. Secara istilah menurut As-Sarakhsi “Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
Sehingga Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukan makna dengan dilalah tegas dan jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di-takwil, di-takhsis, dan dinasakh meskipun pada masa Nabi, lebih–lebih pada masa setelah Nabi.
Misalnya firman Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak mungkin diubah :
” Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.”

وَلاَ تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَا دَةً أَبَدًا
Dan janganlah kamu menerima kesaksiaan mereka selama-lamanya. (QS. An Nuur : 4)
Dan Sabda Rasulullah :
أَلْجِهَا دُ مَا ضٍ إشلَى يَوْمِ الْقِيَا مَةِ
Jihad itu berlangsung sampai hari  kiamat.
Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila lafazhnya ‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman Allah SWT, tentang haramnya menikahi janda Rasullullah. Sehubungan dengan lafazh muhkam itu tidak bisa di-nashakh, maka muhkam itu terbagi kepada dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair dzat. Karena terkadang nasakh itu bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.
Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Dilalah muhkam lebih kuat daripada seluruh macam dilalah yang disebut diatas. Jika terjadi pertentangan maka yang harus didahulukan adalah dilalah muhkam.
BAB III
PENUTUP

1.                  Kesimpulan
1)      Dalalah (الدلالة) adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di makksudkan tau memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul   مدلولٌ- yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang kedua adalah kalinya disebut dalil (دَلِيلٌ)- yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.
2)      Zhahir adalah Lafal yang nyata petunjuknya kepada pengertian yang dimaksudkan, tetapi mungkin menerima makna yang lain.
Contohnya.....
....padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba....(QS. Al-Baqarah (2): 275)
Firman tersebut adalah zhahir dalam menghalalkan segala macam jual-beli dan mengharamkan segala macam riba, karena itu adalah makna yang segera dapat dipahami dari kedua lafal (أَحَلَ dan حَرَّمَ) menghalalkan dan mengharamkan tanpa membutuhkan suatu qarinah. Namun, pengertian tersebut tidaklah yang sebenarnya secara asli dari susunan ayat, karena ayat tersebut sebagaimana sebagaimana kami kemukakan disusun dengan maksud yang sebenarnya untuk mengadakan persaman antara jual beli dan riba, untuk menolak terhadap orang-orang yang mengatakan :
..... إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبوا .....
.....yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba....(QS. Al-Baqarah (2): 275)
Bukan untuk menjelaskan kedua hukumnya.
3)      Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa Rasullullah masih bisa dinasakh. (As-Sarakhsi,372 H. I:165)
4)      Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama, yaitu pasti dan tegas. Secara istilah menurut As-Sarakhsi “Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
5)      Misalnya dihalalkannya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya (Zhahir) yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat orang saja (Nash). Dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah nash, dan dilalah nash lebih kuat daripada dilalah zhahir.
6)      Misalnya, surat An-Nisa : 3 yang menghalakan menikahi wanita dengan dibatasi empat orang (Nash).
Dengan Al-Ahjab ayat 53:
”Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasullullah dan tidak (pula) mengawini istri- istrinya sesudah ia wafat selama- lamanya……” (QS. Al- Ahzab : 53)(Muhkam)
Walaupun dihalakan menikahi wanita mana saja termasuk janda Rasullullah dengan syarat tidak melebihi empat. Namun ayat Al-Ahjab ayat 53 mengharamkan mengawini janda Rasullullah .Dengan demikian maka harus diambil dilalah ayat yang kedua, karena dilalah ayat ini muhkam.
7)      Dari ‘Aisyah, ia berkata “Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasullullah dan ia berkata “sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku harus meninggalkan shalat ?” Rasullullah menjawab. “tidak, Karena mustahadah bukan darah haid. Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudulah untuk setiap shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.”( As-Syaukani, I : 299 ).
Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “berwudulah setiap waktu shalat.” (Az-Zayla’i, I, t,t : 125).
Pada hadits pertama wanita mutahadah wajib berwudu untuk setiap shalat, sekali saja. sedangkan hadis riwayat kedua, untuk waktu seluruh shalat, sehingga berlaku untuk beberapa kali, dengan satu wudu selama waktu untuk melakukan shalat itu masih ada.
Hadis riwayat pertama berbentuk Nash, sedangkan hadis riwayat yang kedua berbentuk mufassar. Sehingga harus mendahulukan hadis kedua, karena termasuk mufassar.
8)      “..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu” ( QS.    Ath- Thalaq : 2) dengan surat An – Nur ayat 4:
“….dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat selama-lamanya”
Ayat pertama termasuk mufassar, diterimanya kesaksian yang adil dari siapa saja. Ayat kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan tidak bisa diterima kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf ), sungguhpun ia bertobat. Dalam hal ini menurut sebagian ulama digunakan ayat yang kedua.
2.                  Saran
Dalam makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanya milik ALLAH, untuk itu kami selaku penulis mengharap saran dan kritik yang membangun demi perbaikan makalah selanjutnya.











[1] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin.Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah. 2005. Hlm. 37
[2] Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani. 2003. Hal. 231-232
[3] Op.cit. hlm. 362
[4] Ushul Fiqih (Qaidah Ushuliyyah) _ Suheri   Syariah Knowledge.htm diakses tanggal 09 Maret 2013
[5] Mutlaq adalah suatu lafazh yang menunjuk hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya
[6] AmmSetiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna” (Hanafiyah), “Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih” (Al-Ghazali), “Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam satu kata” (Al-Bazdawi).
[7] Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani. 2003. Hal.233
[8] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin.Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah. 2005. Hlm 256
[9] Ushul Fiqih (Qaidah Ushuliyyah) _ Suheri   Syariah Knowledge.htm diakses tanggal 09 Maret 2013
[10] Sesungguhnay takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersisfat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafaz zhair.” (Imam Ghozali) Memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil (Wahab Khalaf).

Tiada ulasan:

Catat Ulasan