BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Masalah
Nash/teks Al-Qur’an dan Hadits dalam teori terbagi dua, qoth’i (pasti) dan
dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi dalalah
dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash qoth’i itu sendiri
bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah.
Yang dimaksud kalamiyyah ialah naqliyah semata, dan dalam hal ini yang
benar hanya satu. Maka barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini,
ia berdosa. Nash jenis ini di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan
wajib adanya Allah dan sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka
dan mu’jizat-mu’jizatnya dan sebagainya. Kemudian apabila kesalahan seseorang
itu mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu kafir,
kalau tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan
tersesat.
Adapun ushuliyyah adalah seperti ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai
hujjah, maka masalah-masalah ini dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang
menyalahinya adalah berdosa.
Mengenai masalah fiqhiyyah yang termasuk keadaan qoth’i yaitu shalat 5
waktu, zakat, puasa, pengharaman zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/
arak dan semua yang diketahui secara pasti dari agama Allah. Maka yang benar
dari masalah-masalah itu adalah satu, dan itulah yang diketahui. Sedang orang
yang menyalahinya adalah berdosa.
1. Apabila
seseorang menyelisihi hal-hal yang diketahui secara dhoruri dari maksud
al-Syari’ (hal-hal yang setiap Muslim wajib tahu), maka ia adalah kafir, karena
pengingkarannya tidak timbul kecuali dari orang yang mendustakan syara’.
(Misalnya orang mengingkari keesaan Allah, mengingkari wajibnya shalat 5 waktu,
wajib puasa Ramadhan dsb, maka pengingkarnya itu adalah kafir).
2. Apabila
masalahnya mengenai hal yang diketahui secara pasti, dengan jalan penyelidikan,
seperti hukum-hukum yang dikenal dengan ijma’, maka pengingkarnya bukan kafir,
tetapi ia bersalah dan berdosa. (Contohnya, mengingkari tidak bolehnya
perempuan mengimami shalat lelaki, maka pengingkarnya adalah berdosa).
3. Adapun masalah
fiqhiyyah yang dhonni, yang tidak mempunyai dalil pasti, maka masalah ini jadi
tempat ijtihad dan tidak ada dosa atas mujtahid dalam masalah itu menurut orang
yang berpendapat bahwa yang tepat adalah satu, dan tidak (berdosa) pula menurut
orang yang mengatakan setiap mujtahid adalah tepat.
2.
Rumusan Masalah
Apa yang di
maksud Dalalah yang jelas dan ada berapa tingkatannya?
3.
Tujuan Masalah
Mengeahui
pengertian dalalah yang jelas dan macam-macam tingkatannya
BAB II
PEMBAHASAN
Ada dua kelompok pendapat tentang tingkat
dilalah Lafazh dari segi kejelasan, Golongan Hanafiyah dan Golongan
Mutakalimin. Masing-masing digambarkan dengan bagan berikut:
Pembagian lafazh itu sebenarnya dilihat dari
segi mungkin
atan tidaknya di-takwil atau di-nasakh. Dilihat dari peringkat
kejelasan lafazh itu Menurut golongan Hanafiyah, dimulai dari yang jelasnya
bersifat sederhana
(Zhahir), cukup jelas (nash), sangat
jelas (mufassar), dan super jelas (muhkam).
Dalalah (الدلالة)
adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di makksudkan tau memahami sesuatu
atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul مدلول- yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul
itu adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang kedua adalah kalinya disebut dalil
(دَلِيلٌ)-
yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut
dalil hukum.
Di dalam Al-Mishbah
Al-Munir, dijelaskan bahwa :
لَا لَةُ مَا يَقْتَضِيْهِ
الْلَفْظُ عِنْدَ الْإِ طْلَاقِاَلدَّ
Dalalah adalah apa yang
dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu diucapkan secara muthlaq.[1]
Dalalah yang jelas dari
nash adalah makna yang ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa
membutuhkan faktor luar. Jika nash itu mungkin di takwil, tetapi yang di maksud
bukan tujuan asal dati susunan katanya maka disebut zhahir. Jika mungkin di
takwil, sedangkan yang dimaksud adalah tujuan asal dari susunan katanya maka di
sebut nash. Jika nash itu tidak mungkin ditakwil tetapi hukumnya dapat dinasakh
maka disebut mufassar. Dan jika tidak mungkin di takwil dan hukumnya tidak
dapat dinasakh maka disebut muhakkam.
Setiap nash yang jelas
petunjuknya, maka harus diamalkan sesuai dengan makna petunjuk yang jelas itu,
dan tidak boleh mentakwil nash itu, meskipun mungkin, kecuali ada dalil.
Kaidah ketiga dan keempat
ini khusus menerangkan nash syara’ yang jelas petunjuknya, yang tidak jelas
petunjuknya, tingkat kejelasan nash yang jelas dan tingkat kesamaran nash yang
tidak jelas, serta hal-hal yang dapat menghilangkan ketidakjelasan itu.
Selisih tingkat
kejelasannya adalah pada kemungkinan atau tidaknya menerima takwil. Makna yang
dipahami dari bentuk nash itu sendiri dengan tidak mungkin dipahami dengan
makna lain lebih jelas petunjuknya dari pada makna yang dipahami dari bentuk
nash tapi mungkin dipahami dengan makna lain.
Sedangkan selisih tingkat
kesamarannya adalah mampu atau tidaknya menghilangkan kesamaran itu. Nash yang
memiliki kesamaran dan tidak mungkinmenghilangkan kesamara itu kecuali
dikembalikan kepembuatnya, yaitu syar’i adalah lebih samar daripada nash yang
memiliki kesamaran tetapi ada metode untuk menghilangkan kesamaran itu dengan
penelitian dan ijtihad.[2]
1.
Az Zhahir
وَهُوَ اللَّفْظُ الَّذِى ظَهَرَتْ دَلَا لَةٌ عَلىَ
الْمَعْنَى الَّذِى لَمْ يُسَقْ لَهُ وَاحْتَمَلَ غَيْرَهُ اِحْتِمأَ لاً
مَرْجُوْحاً
Lafal yang nyata
petunjuknya kepada pengertian yang dimaksudkan, tetapi mungkin menerima makna
yang lain. (Menurut Ulama Hanafiyah)[3]
“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas
maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri.” (
Bazdawi, 1307 H. I:46)
“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari
pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.” ( As-Sarakhsi, 1372, I:164)
Untuk
memahami zhahir itu tidak memerlukan petunjuk lain, melainkan langsung dari
rumusan lafazh itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain,
sehingga Muhammad Adib Salih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
“Suatu lafazh yang menunjukan suatu makna dengan
rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu qarinah yang ada diluar lafazh itu
sendiri ,namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan
dinasakh.(Muhammad Adib Salih,1984,I : 143)[4]
Sepanjang
maksudnya dapat dipaami dari kalimat itu tanpa membutuhkan suatu qarinah
(tanda), namun maksud tersebut bukanlah yang dikehendaki dengan sebenarnya dari
susunan kalimatnya maka kalimat itu disebut dengan Zhahir.
Contohnya.....
وَأَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا ...
....padahal Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba....(QS. Al-Baqarah (2): 275)
Firman tersebut adalah zhahir dalam menghalalkan segala
macam jual-beli dan mengharamkan segala macam riba, karena itu adalah makna
yang segera dapat dipahami dari kedua lafal (أَحَلَ
dan حَرَّمَ)
menghalalkan dan mengharamkan tanpa membutuhkan suatu qarinah. Namun,
pengertian tersebut tidaklah yang sebenarnya secara asli dari susunan ayat,
karena ayat tersebut sebagaimana sebagaimana kami kemukakan disusun dengan
maksud yang sebenarnya untuk mengadakan persaman antara jual beli dan riba,
untuk menolak terhadap orang-orang yang mengatakan :
..... إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبوا .....
.....yang
demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba....(QS.
Al-Baqarah (2): 275)
Bukan untuk menjelaskan
kedua hukumnya.
Hukum zhahir wajib diamalkan menurut arti yang
ditunjukkan lafal itu kecuali ada dalil yang men-takwil-kannya. Jika zhahir
berupa lafal muthlaq[5] maka harus diamalkan
menurut muthlaq-nya sampai ada dalil yang men-taqyid-kan (membatasi)
kemuthlakannya, dan jika lafadz zhahir itu berupa lafal ‘amm[6] maka harus diamalkan
menurut keumumannya, sampai ada dalil lain yang men-takhsis-kan berlakunya
keumuman tersebut atau diamalkan menurut arti yang di tunjukkan lafal itu
sampai dengan ada dalil yang me-mansukh-kan.
Contoh lain :
Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. (QS.
An Nisaa’ : 3)
Bermakna jelas dalam memperbolehkan kawin dengan wanita
yang halal. Karena makna inilah yang langsung difahami dari kata (فَا نْكِحُوْامَا طَا بَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاء) dengan tidak membutuhkan alasan. Makna
ini bukan menjadi tujuan dari susunan ayat, karena maksud asalnya adalah
membatasi jumlah istri maksimal empat atau hanya satu, sebagaimana yang telah
kami jelaskan dimuka.[7]
2.
An Nash
Menurut Ulama Hanafiyah
وَهُوَ اللَّفْظُ الَّذِى ظَهَرَتْ دَلَا لَةٌ عَلىَ
الْمَعْنَى الَّذِى لَمْ يُسَقْ لَهُ مَعَ احْتِمَا لِ ألأتَّخْصِيْصِ
Lafal yang tegas
petunjuknya kepada makna yang dimaksudkan. Tetpai menerima takhsish, kalau dia
‘amm dam menerima takwil kalau dia khash.[8]
Nash
mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari
rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui
dengan qarinah.
Menurut
bahasa, Nash adalah raf ‘u asy-syai atau munculnya segala sesuatu
yang tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah
didefinisikan sebagai berikut:
“ Suatu lafazh yang maknanya
lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafazh zhahir.” (Ad-Dabusi)
“Lafazh yang lebih jelas maknanya
daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari sipembicaranya bukan dari
rumusan bahasa itu sendiri.”
(Al-Bazdawi)
Muhammad Adib Salih berkesimpulan
bahwa yang dimaksud Nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum
yang jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai
kemungkinan ditakhsish dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada
kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasakh
pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai Contoh, pada contoh Zahir
sebelumnya, dilalahnya tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Disini nash
lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba)
karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.[9]
Kedudukan hukum
lafazh Nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib
diamalkan petunjuknya atau dilalah-nya asal tidak ada dalil yang
menakwilkan, men-takhsis atau me-nasakh-nya.
Perbedaan antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil[10],
takhsis, atau nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan
yang terdapat pada lafazh zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi
pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka
lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahir pada
lafazh Nash.
3.
Al Mufassar
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas
dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis,
namun pada masa Rasullullah masih bisa dinasakh. (As-Sarakhsi, 372 H. I: 165 ):
Menururt
istilah ahli ushul fiqh al Mufassar adalah nash yang yang dengan sendirinya
menunjukkan makna secara rinci yang tidak memungkinkan adanya takwil. Antara
lain arena bentuk nash itu dengan sendirinya telah menunjukkan makna secra
jelas dan rinciyang didalamnya tidak ada lagi kemungkinan diberi makna lain.
“ Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat
diketahui maksudnya dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”
Dengan definisi ini maka kejelasan petunjuk
mufassar lebih tinggi daripada petunjuk zhahir dan nash. Sebab pada petunjuk
zhahir dan nash masih terdapat kemungkinan ditakwil atau ditaksis, sedangkan
pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada. Sebagai contoh
firman Allah SWT:
وَقَا تِلُوالْمُشْرِكِيْنَ كَا فَّةً
“Dan perangilah kaum musyrikin
itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuannya; dan ketahuilah
bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” ( QS. At-Taubah : 36 )
Karena
kata Kaffah (semuanya) meniadakan adanya perkecualian. Banyak sekali
materi hukum pidana yang membatasi jumlah hukuman atas tindakan tertentu. Juga
materi undang-undang perdata yang membatasi macam-macam tindakan, seperti
hutang, hak, atau yang menjelaskan hukum secara rinci yang tidak mungkin untuk
ditakwil.
Antara
lain karena bentuk nash itu datang secara global, tidak terinci, kemudian
disusul oleh syar’i dengan penjelasan rinci, pasti, meniadakan keglobalannya,
dan merincinya sehingga nash yang global itu menjadi rinci dan tidak mungkin
untuk di takwil.
Seperti
firman Allah Swt :
أَقِيْمُوالصَّلَوةَ وَاَتُوا الزَّكَوةَ
Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat.....(QS. Al
Baqarah : 43)
وَلِلهِ عَلَى النَّا سِ حِجُّ الْبَيْتِ
Mengerjakan haji kebaitullah adalah kewajiban
manusia terhadap Allah. (QS. Ali Imron : 97)
وَأَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
....padahal Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba....(QS. Al-Baqarah (2): 275)
Kata salat, zakat, haji dan riba
adalah kata yang global yang mempunyai arti syara’ yang tidak di jelaskanoleh
bentuk nash ayat. Tetapi Rasulullah Saw. menjelaskan arti kata-kata itu dengan
perbuatan dan ucapannya. Maka kemudian Rasulullah bersabda :
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْ نِي أُصَلِّى
Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat,
Atau
خُذُوا عَنَّي مَنَا سِكَكُم
Ambilah daripadaku ibadah hajimu.
Demikian
juga setiap kata yang mujmal (global) dalam al qur’an, yang dijelaskan
oleh hadist dengan penjelasan yang cukup sehingga menjadi mufassar
(jelas/rinci). Sedangkan perincian itu sendiri adalah bagian dari jumlah
sebagai penyempurnaan selama ia berupa dalil qat’i. Inilah yang dalam
ilmu musthalalul Hadist disebut Tafsir Tasyri’i, yaitu tafsir yang
sumbernya syar’i sendiri. Karena Allah telah memberi kekuasaan kepada
Rasulullah untuk memberi penjelasan dan perincian.
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i,
sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-nya. Apabila terjadi pertentangan
antara dilalah mufassar dengan dilalah Nash dan zhahir maka dilalah mufassar
harus didahulukan. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari
zhahir-nya, karena tidak mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa
di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
4.
Al Muhakkam
Muhkam
menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama,
yaitu pasti dan tegas. Secara istilah menurut As-Sarakhsi “Muhkam itu
menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
Sehingga
Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukan makna dengan dilalah tegas dan
jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di-takwil, di-takhsis, dan
dinasakh meskipun pada masa Nabi, lebih–lebih pada masa setelah Nabi.
Misalnya firman Allah SWT berikut yang sangat jelas
dan tegas dan tidak mungkin diubah :
”
Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.”
وَلاَ تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَا دَةً أَبَدًا
Dan janganlah kamu menerima kesaksiaan mereka
selama-lamanya.
(QS. An Nuur : 4)
Dan Sabda Rasulullah :
أَلْجِهَا دُ مَا ضٍ إشلَى يَوْمِ الْقِيَا مَةِ
Jihad itu berlangsung sampai hari kiamat.
Apabila
lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila
lafazhnya ‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman Allah
SWT, tentang haramnya menikahi janda Rasullullah. Sehubungan dengan lafazh
muhkam itu tidak bisa di-nashakh, maka muhkam itu terbagi kepada dua, ada muhkam
dzat dan muhkam ghair dzat. Karena terkadang nasakh itu bisa dari
nash itu sendiri atau dari luar nash.
Dilalah
muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari maksud
asalnya dan tidak boleh dihapus. Dilalah muhkam lebih kuat daripada seluruh
macam dilalah yang disebut diatas. Jika
terjadi pertentangan maka yang harus didahulukan adalah dilalah muhkam.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
1)
Dalalah (الدلالة)
adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di makksudkan tau memahami sesuatu
atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul مدلولٌ- yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul
itu adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang kedua adalah kalinya disebut dalil
(دَلِيلٌ)- yang
menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil
hukum.
2)
Zhahir adalah Lafal yang
nyata petunjuknya kepada pengertian yang dimaksudkan, tetapi mungkin menerima
makna yang lain.
Contohnya.....
....padahal Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba....(QS. Al-Baqarah (2): 275)
Firman tersebut adalah zhahir dalam menghalalkan segala
macam jual-beli dan mengharamkan segala macam riba, karena itu adalah makna
yang segera dapat dipahami dari kedua lafal (أَحَلَ
dan حَرَّمَ)
menghalalkan dan mengharamkan tanpa membutuhkan suatu qarinah. Namun,
pengertian tersebut tidaklah yang sebenarnya secara asli dari susunan ayat,
karena ayat tersebut sebagaimana sebagaimana kami kemukakan disusun dengan
maksud yang sebenarnya untuk mengadakan persaman antara jual beli dan riba,
untuk menolak terhadap orang-orang yang mengatakan :
..... إِنَّمَا الْبَيْعُ
مِثْلُ الرِّبوا .....
.....yang
demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba....(QS.
Al-Baqarah (2): 275)
Bukan untuk menjelaskan
kedua hukumnya.
3) Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas
dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau
ditakhsis, namun pada masa Rasullullah masih bisa dinasakh. (As-Sarakhsi,372 H. I:165)
4)
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama,
yang berarti atqama, yaitu pasti dan tegas. Secara istilah menurut
As-Sarakhsi “Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
5) Misalnya dihalalkannya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya (Zhahir)
yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat
orang saja (Nash). Dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu
dilalah nash, dan dilalah nash lebih kuat daripada dilalah zhahir.
6)
Misalnya, surat An-Nisa : 3 yang menghalakan menikahi
wanita dengan dibatasi empat orang (Nash).
Dengan Al-Ahjab ayat 53:
”Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasullullah
dan tidak (pula) mengawini istri- istrinya sesudah ia wafat selama- lamanya……”
(QS. Al- Ahzab : 53)(Muhkam)
Walaupun dihalakan menikahi wanita mana saja
termasuk janda Rasullullah dengan syarat tidak melebihi empat. Namun ayat
Al-Ahjab ayat 53 mengharamkan mengawini janda Rasullullah .Dengan demikian maka
harus diambil dilalah ayat yang kedua, karena dilalah ayat ini muhkam.
7)
Dari ‘Aisyah, ia berkata “Fatimah binti Abu Hubaisy
datang kepada Rasullullah dan ia berkata “sesungguhnya aku ini dalam keadaan
mustahadah, sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku harus meninggalkan
shalat ?” Rasullullah menjawab. “tidak, Karena mustahadah bukan darah haid.
Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudulah untuk
setiap shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.”( As-Syaukani,
I : 299 ).
Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “berwudulah
setiap waktu shalat.” (Az-Zayla’i, I, t,t : 125).
Pada hadits pertama wanita mutahadah wajib berwudu
untuk setiap shalat, sekali saja. sedangkan hadis riwayat kedua, untuk waktu
seluruh shalat, sehingga berlaku untuk beberapa kali, dengan satu wudu selama
waktu untuk melakukan shalat itu masih ada.
Hadis riwayat pertama berbentuk Nash,
sedangkan hadis riwayat yang kedua berbentuk mufassar. Sehingga harus
mendahulukan hadis kedua, karena termasuk mufassar.
8)
“..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil diantara kamu” (
QS. Ath- Thalaq : 2) dengan surat An – Nur ayat 4:
“….dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat
selama-lamanya”
Ayat pertama termasuk mufassar, diterimanya
kesaksian yang adil dari siapa saja. Ayat
kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan tidak bisa diterima kesaksian orang
yang menuduh zina (qadzaf ), sungguhpun ia bertobat. Dalam hal ini menurut
sebagian ulama digunakan ayat yang kedua.
2.
Saran
Dalam makalah
ini sangat jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanya milik ALLAH, untuk
itu kami selaku penulis mengharap saran dan kritik yang membangun demi
perbaikan makalah selanjutnya.
[5] Mutlaq adalah
suatu lafazh yang menunjuk hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat
mempersempit keluasan artinya
[6] Amm“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara
lafazh maupun makna” (Hanafiyah), “Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna
atau lebih” (Al-Ghazali), “Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk
lafazh tersebut dalam satu kata” (Al-Bazdawi).
[10] Sesungguhnay takwil itu merupakan ungkapan tentang
pengambilan makna dari lafazh yang bersisfat probabilitas yang didukung oleh
dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh
lafaz zhair.” (Imam Ghozali) Memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena ada
dalil (Wahab Khalaf).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan